11 April, 2005

Bukan negeri sampah

negeri yang dihuni ratusan juta manusia
negeri yang memiliki beragam budaya, kepercayaan dan agama
negeri yang dipenuhi kekayaan alam yang melimpah
negeri yang diakui dalam tata negara dunia
negeri yang merdeka karena peluh keringat dan darah sang pahlawan

ya!
sebuah negeri yang bukan sekedar menjadi tanah kelahiran
sebuah negeri yang bukan sekedar menjadi pelayan
sebuah negeri yang bukan sekedar ternama karena penguasa yang serakah
sebuah negeri yang bukan sekedar menjadi korban kutukan Tuhan
sebuah negeri yang bukan sekedar dipenuhi beragam pelanggaran kemanusiaan
sebuah negeri yang bukan sekedar dikenal kaarena tingkat kemiskinan, pengangguran, dan kekerasan

Dia tetap menjadi negeriku, meskipun aku harus banyak mendulang kecewa
Dia adalah bagian sejarah,meskipun harus dipertahankan dengan darah
Dia adalah negeriku
Sebuah neegeri yang bernama INDONESIA

Masih ada sebuah idealisme untukmu
Entah kan bertahan sampai kapan

(ketika nasionalisme semakin memudar)

05 April, 2005

Tragedi 22 Maret

Duduk menyendiri di koridor fakultas salah satu hal yang kusuka, bukannya apa, terkadang bahkan sering muncul inspirasi dan ide baru. Kalau dibilang itu salah satu caraku untuk berkontemplasi tidak juga sih! mungkin lebih tepat tempat untuk melihat banyak manusia dengan beragam karakter. Sok tahu yah! Tapi akhir-akhir ini aku sudah jarang ke kampus, aku lebih sering berkutat di kamar dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan dan terkadang jalan-jalan sendirian ke tempat-tempat menarik (hunting buku, hunting tempat makan yang asik, atau sekedar window shopping di mal).

Siang tadi aku ke fakultas, sekedar mampir melihat perkembangan Senat dan tiga Ormaju lainnya. satu kejadian lucu kualami, menjadi ide lagi untuk dituangkan dalam tulisan, sebab jika tidak kepalaku akan pusing terus dibisiki suara-suara tentang kejadian itu. Kalau tak salah ingat dari buku yang pernah kubaca menulis itu salah satu obat ruhani yang paling manjur, karena dengan menulis kita membebaskan diri, mengekspresikan, dan menemukan diri. Menulis juga merupakan aktivitas intelektual-praktis yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan amat berguna untuk mengukur sudah seberapa tinggi pertumbuhan ruhani seseorang. Nah loh!!! Sudahkah kita membiasakannya?

Kembali lagi ke cerita awalku, sebenarnya hal ini bukanlah hal yang luar biasa, bahkan ini terlalu biasa. Ketika sedang menikmati membaca papan pengumuman, satu pamflet kubaca bertuliskan : “malu-maluin jadi mahasiswa kalau suka nyontek saat ujian, malu-maluin jadi pengawas biarkan mahasiswa nyontek saat ujian” (SEMA FE-UH). Jujur saja, aku senang akhirnya ada yang berani memasang pamflet itu, setidaknya masih ada yang gelisah dengan kondisi pendidikan hari ini. Bukan itu saja, bahkan spanduknya yang besar berlatar hitam terpampang dengan gagahnya di gedung akademik fakultasku. Jadi, apa yang lucu??? Cuma gara-gara tulisan di pamflet itu banyak orang yang kepentingannya terusik.

Aneh! Apa yang salah dari sebuah tulisan yang secara semantik kurang mengikuti ejaan yang disempurnakan itu? Tulisan yang menggambarkan selera pasar, namun tidak menghilangkan substansinya. Baru satu hari dipasang, esoknya ketua Senatku diborongi oleh beberapa senior yang dengan angkuhnya meminta untuk mencopot pamflet dan spanduk itu, yang lebih parahnya lagi mereka meminta pengurus Senat untuk mengklarifikasi dan meminta maaf. Loh memangnya itu sebuah kesalahan? Kalaupun harus meminta maaf, tidak ada kejelasan atas dasar apa. Secara pribadi aku sendiri bisa memenuhi permintaan mereka untuk mencopot semua itu, taruhlah sekedar menenangkan hati mereka yang gundah lantaran pengawasan pada saat ujian semakin ketat yang membuat mereka kesulitan mencari pelampung seperti biasanya. Sedangkan untuk mengklarifikasi dan meminta maaf? NON SENSE!!! “tak ada istilah menyerah untuk melakukan perubahan dari hal-hal kecil” ucapku pada rapat internal pengurus pada hari itu juga, “ini baru hal kecil yang dihadapi, belum nanti pada pertengahan kepengurusan yang memungkinkan banyak tekanan dari berbagai kepentingan dan kita harus siap untuk mengambil keputusan sendiri dengan segala konsekuensinya”tambahku lagi. Memang begitu kelihatan sok idealis, tapi apa yang salah dari suatu idealisme? Toh itu menunjukkan seberapa jauh perjuangan yang harus dilewati dalam pembentukan karakter diri.

Yang menarik dari kejadian itu sebenarnya menurutku cuma hal sepele yang tak dihiraukan banyak orang. Ya! hanya pembahasan mengenai budaya menyontek di kalangan lembaga pendidikan hingga saat ini yang nyatanya kurang diperhatikan. Hal itu seakan-akan bukanlah persoalan penting yang harus disoroti layaknya pemilihan dekan atau kenaikan BBM sebulan lalu. Ironis kan! Banyak aktivis mahasiswa yang selalu bicara tentang pembebasan, pembelaan terhadap kaum minoritas dengan gaung atas nama HAM, juga intektualitas atau apalah yang berbau-bau idealis, sekedar ucap namun tidak untuk laku. Entah sadar atau tidak, merekalah yang melanggar kata-kata mereka. Tak jauh beda juga dengan beberapa mahasiswa lainnya. Mereka benci korupsi dan penyimpangan para pejabat dan penguasa, tapi laku mereka tak ubahnya seperti para pejabat dan penguasa.

Aku tak berani mengeneralisir ini adalah potret buruk pendidikan hingga detik ini di sebuah negeri yang carut-marut, sebab hanya mengklaim adalah meminggirkan kearifan kita sebagai manusia. Yang ada layaknya sebuah solusi alternatif untuk mengubah ataupun menemukan jalan keluar atas berbagai permasalahan. Mungkin seperti apa yang dilakukan teman-temanku di Senat itu, dengan niat untuk meredakan kegelisahan mereka melalui kata-kata, seperti halnya puisi yang pernah kubuat :

words is the way that we rethinking bout life
words is the way that we can blow apart in another side
words is the way that we can declare the love
words is the way that we spends our time
only because the words we can do all things in the same time
truly and unselfishly

ps : tadinya tulisan ini ingin kutempel di papan2 pengumuman tapi aku kuatir ketua Senat bukan hanya diborongi lagi, mungkin akan babak belur dipukuli. Ups!!! Maafkan saya pak ketua!

03 April, 2005

susahnya mencari pemimpin...

Pagi yang indah, tepatnya tanggal 28 Maret hari yang ditunggu-tunggu mahasiswa yang siap-siap saja dipastikan menambah data statistik pengangguran di kotaku. Cuaca sedikit mendung karena awan hitam berarak sambil menitikkan rintik hujan. “Menyenangkan sekali” pikirku yang sangat menyukai hujan, karena suasananya yang romantis dan memberikan banyak inspirasi (hehe…).

Hari ini salah satu universitas yang katanya ternama (kalau menurutku ternama disini lebih cocok diartikan hanya dikenal namanya, tidak untuk yang lainnya) di kawasan Indonesia Timur mengadakan acara termegah yang dilakukan empat kali setahun di sebuah ruangan dengan kapasitas kalau tak salah hampir seribu kursi. Orang-orang nomor satu di universitas itu satu per satu mulai bermunculan, sebuah layar lebar dipasang di depan gedung, agar semuanya bisa menyaksikan secara langsung acara itu. Seketika banyak yang berdecak kagum, ada juga yang mencibir, bahkan berkomentar seadanya melihat para pejabat universitas yang selama ini ternama (sekali lagi, hanya dikenal namanya). Mereka itu layaknya ‘menara gading’ kata temanku dalam sebuah tulisannya, sulit untuk didapat mahasiswa dan tak pernah dikenal bagaimana sosoknya. Intinya tidak ‘merakyat’ kata para aktivis.

Susahnya mendapat pemimpin yang seperti ini, jangankan di lingkup suatu Negara, di lingkup terkecil seperti universitas pun begitu. Tak heran kalau kepercayaan sulit di dapat di sebuah negeri yang krisis pemimpin yang ‘merakyat’ ini. Semoga masa itu kan datang, dimana keadilan dan kemakmuran bukan lagi hanya impian.

Untuk saat ini hanya itu doaku bagi sebuah negeri impian