23 May, 2008

Sudah biasa...

Lagi dan lagi persis kata Andra and The Backbone.

Lagi-lagi ada yang hilang,
Ngasih kritik dikira subversif lalu dibungkam,
Trus kreatif kurang di publish juga diredam,
Bagaimana bisa bangkit?
Kalo masih diinjak-injak
Bagaimana bisa maju?
Kalo anti kritik

lucu! katanya itu sudah biasa...
ahh...yang penting keluarkan saja slogan:
INDONESIA BISA!

22 May, 2008

Sebuah Jaket Berlumur Darah



Sebuah jaket berlumur darah

Kami semua telah menatapmu

Telah berbagi duka yang agung

Dalam kepedihan bertahun-tahun


Sebuah sungai membatasi kita

Di bawah terik matahari Jakarta

Antara kebebasan dan penindasan berlapis senjata dan sangkur baja


Akan mundurkah kita sekarang

Seraya mengucapkan “Selamat tinggal perjuangan”

Berikrar setia pada tirani

Dan mengenakan baju kebesaran sang pelayan?


Spanduk kumal itu, ya spanduk kumal itu

Kami semua telah menatapmu

Dan diatas bangunan-bangunan

Menunduk bendera setengah tiang


Pesan itu telah sampai kemana-mana

Melalui kendaraan yang melintas

Abang-abang beca, kuli-kuli pelabuhan

Teriakan-teriakan di atap bis kota, pawai-pawai perkasa

Prosesi jenazah ke pemakaman

Mereka berkata

Semuanya berkata

LANJUTKAN PERJUANGAN!


(Sebuah Jaket Berlumur Darah, Taufiq Ismail, 1966)

21 May, 2008

Prinsip, keras kepala dan ke-GILA-an

"Everything tells me that I am about to make a wrong decision, but making mistakes is just part of life. What does the world want of me? Does it want me to take no risks, to go back to where I came from because I didn't have the courage to say "yes" to life?"



Kalimat dari Eleven Minutes karya Paulo Coelho sepertinya menjadi tepat dengan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Saya yakin setiap orang hampir selalu mengalami konflik batin ketika harus mengambil tiap keputusan dalam hidup, bahkan keputusan sekecil apapun. Sedari lahir selalu ada pilihan-pilihan dan semuanya akan berujung pada jalan hidup. Adalah selalu menjadi hal yang rumit ketika sudah mengambil keputusan tiba-tiba muncul hal-hal yang boleh dikatakan mengusik hati dan pemikiran. Biasanya hanya akan ada dua kemungkinan ketika ada dalam kondisi itu, pertama "apakah konsistensi saya sedang diuji?sehingga untuk lebih mempertebal keyakinan atas keputusan yang sudah saya ambil atau memperjelas komitmen dalam diri", kedua "apakah ini pertanda agar saya mempertimbangkan keputusan sebelumnya?, karena ada hal-hal lain yang belum saya pikirkan dengan matang dan akan berdampak ke depan maka Tuhan memberikan alternatif dengan cara-Nya".

Cukup pusing dan bingung memikirkan mana yang menjadi dasar, apakah yang pertama atau kedua. Seperti menebak-nebak suratan Tuhan, meski yang kedua bisa jadi mulai masuk ke ranah fatalis atau oportunis. Kebetulan saya orang yang kurang setuju dengan sikap fatalis, alhasil suka mencari-cari dengan menghubung-hubungkan tiap-tiap kejadian untuk menyusun kesimpulan, bertanya dengan beberapa orang (yang mungkin saja bisa membuat orang yang ditanya itu bingung, hehehe...), buntut-buntutnya melamun.

Katanya wajar jika dalam proses mengejawantahkan keputusan tersebut banyak pro dan kontra, ada yang mendukung ada yang kurang sepakat bahkan tidak setuju dan tidak mendukung. Mau tidak mau tetap saja harus bersikap, asal jangan plin plan dan bersembunyi dibalik alasan ketidakpastian atau kepastian.

Minggu lalu saya mengajukan pertanyaan kepada orang yang saya pikir mungkin bisa jadi membantu menemukan jawaban yang saya cari:
"Mau tanya tentang konsistensi, prinsip, ujian, kemungkinan dan pengambilan keputusan. Masalahnya konflik batin dan pemikiran dari setiap keputusan yang diambil manusia, karena setelah sebuah keputusan diambil, bersamaan akan muncul kemungkinan-kemungkinan. Entah itu studi , pekerjaan, dsb (klo mnurutku smuanya trkait dan akan mnentukan jln hidup). Analisis SWOT blm bs menjawab, apa ini konsep ujian-Nya atau cara-Nya untuk memberikan pertanda atas keputusan awal atau bagaimana?Dipikir-pikir selalu berulang, cuma peristiwa dan waktu yang membedakan."

jawaban-jawaban berbeda saya terima:

pertama, "selalu keputusan itu jatuhnya ke diri manusia itu sendiri. di satu sisi jalan menuju kemuliaan, membantu mencaerdaskan orang lain amal jariahnya tak putus. di sisi lain tawaran itu adalah big money dimana kamu juga berkewajiban membantu keluarga juga kan? ;) "
(hikzz...kalo sudah bicara keluarga tambah berat)

kedua, "gitu ya?(diam..), emang sekarang masalahnya apa?coba lo ceritain, mengingat kan kalo tahu masalahnya gue bisa lebih fokus". Lalu saya ceritakan, dan sudah saya duga jawaban yang akan muncul "bagus itu, kenapa nggak lo coba aja?kan lebih pasti, gini deh..lo pikir-pikir lagi rencana dari keputusan awal lo. Gue juga sebenernya lagi mikir gue juga fokusnya bakal kemana, gue jadi bingung nih sul."
(ya ampuuuunn...akhirnya sama-sama bingung deh!)

ketiga, "jujur saja sebenarnya kadang-kadang saya ada kendala dengan hal tsb.Kalau prinsip mnurutku ada yang harus kaku dan memang harus seperti itu, hal yang berkaitan dengan din misalnya. Tentu saja prinsip itu ada juga yang mesti disesuaikan dengan kondisi. Konsistensi kadang-kadang susah juga menjaganya. Kalo orang hidup pasti ada cobaannya, kita diuji sesuai kemampuan kita dan pasti ada hikmahnya, sebenarnya sandaran paling baik adalah din. Tentu dengan pemahaman yang benar. Keputusan butuh masukan dari keluarga juga, jangan ambil keputusan secara emosional."
(hampir dua tahun lalu saya memikirkan dan membuat rencana)

keempat, "hidayah itu adalah konsistensi, disiplin. begitu menurut yang saya pahami. orang baik dan besar menurut sejarah adalah orang yang teguh pada prinsip tapi tidak fatalis pada nasib."
(dibaca berulang-ulang, dalem euy!)

Sampai sekarang masih mencari-cari lagi. Ahh!!! apa saya terlalu berputar-putar pada wilayah definisi bukan substansi?

Syukurlah mama cuma berkomentar (tentu saja raut wajahnya menandakan masih kurang sepakat) dengan rencana yang mau saya jalani ini dengan kalimat:
"apa nggak dipikir-pikir dulu?yang wajar-wajar saja nak...coba kali ini jangan keras kepala"

Saya pun cuma bisa tersenyum.