31 October, 2007

books conversation [dialog aku-buku]

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket
pic from www.photobucket.com


Damn all the good books,
They call out my name,
I reach out to read them all,
Falling flat on my face with shame,
The timeless classics Don Quixote would say,
The newfound glories, Clancy and James Frey,
The poets like Poe and Dickinson
Ms. Emily I feel your pain
But I haven't the time To read every non-rhyme
and clear the shelves of Humor,
Mystery, History, Architecture
and all the good books call out my name
"Bend my sheath." "Break my spine."
"Get familiar with me."
I haven't the time.
Damn all the good books!

this poem i take from goodreads
wrote by Gabe from Colorado,
it remind me how all my books
where still i put on the box
hasn't finish yet read by me.
when i come home after get
hectic from office 'n trap in a traffic of Jakarta,
i just can see them wrapped on boxes in my room.
just take it for a second saw them crying and said
"why you don't ever read me for a while?"
or
"touch me and see, you'll get anything where
you never get it before"
or
"soeltra, i think you like exploring anytime
anywhere, so why don't you read me?
come..'n being my friend again.
i miss some of conversation with you"

and remember my old poem i ever wrote:

buku buku di kamarku menjerit
setelah sebelumnya selalu menyapa
dengan senyum dan tawa di sampulnya
tapi aku selalu saja lupa

ya..aku selalu saja lupa
bahwa mereka adalah penyempurna jiwa,
juga pengobat rasa

lalu kusampaikan pembenaran kepada mereka
bacaan yang paling penting adalah bacaan hidup
buku yang paling berharga adalah hidup itu sendiri

dan mereka menjawab
dan kau menemui hidup hidup yang lain pada kami
bukan hanya hidupmu
hidup yang lebih lengkap
yang mungkin tak pernah kau alami
atau kau dapatkan dimana pun

buku buku menutup percakapan dengan kalimat
"maukah kau tetap menjadi temanku?"

and finally!
last monday i move to a place nearby office,
rent a room 'n pick up some of my books.
on my new place i just spend 20 minutes on the way
to go to the office 'n no traffic!
the result: for this two days
i've been chatting with two of them.
how grateful my life, how lucky me!
time for waiting traffic for almost 4 hours,
i can substitute it for reading
on my new room...my new room,
small but i just like in heaven.



17 October, 2007

HAPPY IDUL FITRI 1428 H

Visual Poetry - ImageChef.com

Taqabbbalallahu minna wa minkum...Taqabbal yaa karim...
Mohon maaf lahir bathin

-soeltra-

09 October, 2007

sendiri

pada dasarnya manusia sendiri,
di awal sendiri,
di akhir juga sendiri,
hanya dalam perjalanan saja selalu ada yang datang dan pergi menemani,
makanya hidup jadi lebih berarti
(balasan untuk teman yg mengomentari tulisan saya, eh..malah dibuat postingan tersendiri)

terimakasih...
untuk orang-orang yang pernah, selalu dan akan menemani perjalanan saya
hidup memang jadi betul-betul berarti dengan kehadiran kalian

saling mendoakan yaa padukaa..

tentang maaf

Islam lebih mengedepankan 'memaafkan' daripada 'minta maaf.' Memaafkan itu muncul dari kesadaran diri, dari dalam, sedangkan minta maaf lebih karena terpaksa. Jadi sebelum orang lain minta maaf, seseorang idealnya harus lebih memaafkan (Quraish Shihab)

Hanya orang besar yang punya sifat memaafkan (Mahatma Gandhi)

Memaafkan merupakan jalan terpendek menuju Tuhan (Gerald Jampolsky)

Apalagi yang bisa aku katakan, semua sudah dimaafkan. Apalagi yang perlu aku bilang, semua orang sudah riang (Kurt Cobain-All Apologize)

Tapi benar-benar memaafkan itu sungguh sulit; dan memang hanya orang besar yang mampu melakukannya dengan sempurna. Saya sendiri sering kepayahan memaafkan segala hal; bukan semata-mata memaafkan dan kemudian berdamai dengan dunia, tapi juga berdamai dengan diri sendiri, menenteramkan gejolak yang masih liar karena terpaksa harus memaafkan. Bila sudah begitu, saya sering malu karena jadi tahu persis betapa memaafkan yang berbuah kebahagiaan itu sangat jarang. (Anwar Holid - editor buku)

terinspirasi dari Republika kolom SELISIK, 9 Oktober 2007

aku sudah memaafkanmu, sungguh!
(meskipun terkesan tidak ikhlas karena diucapkan tapi untuk menyampaikan sesuatu, kata cukuplah perlu, bukan?)

08 October, 2007

diskriminasi

Orang bisa secara fanatik membaktikan hidupnya pada politik atau keyakinan agama atau segala bentuk dogma maupun tujuan lain karena dogma atau tujuan tersebut meragukan
(Robert T Pirsig - Zen and the Art of Motorcycle Maintenance)

kenapa mesti ada diskriminasi, jika semuanya dapat diperlakukan sesuai dengan haknya, tidak mendzalimi namun menghargai.

dan saya pun teringat postingan milik seorang teman

Allah, berilah saya kekuatan, termasuk menghormati yang tidak berpuasa... (kotakjimpe.blogdrive.com)

hari ini teman sekantor yang lebih tepat atasan saya : menangis dan berbagi resah, bukan karena setumpuk pekerjaan yang harus dia lakoni atau penyakit ketidakstabilan mood karena pms (pre mestruation syndrome) (kalau dua penyakit ini lebih condong ke saya,hehe...). Usut punya usut dari ceritanya dia merasa menjadi korban diskriminasi dan harga dirinya sebagai seorang manusia (tepatnya individu) telah diusik.

begini ceritanya, tanggal 2 kemarin kantor saya membagikan THR yang dikirim ke rekening karyawan langsung. Nah! Atasan saya tadi bertanya kepada saya untuk memastikan apakah saya sudah dikirimkan? Otomatis, karena sebelumnya saya memang sudah cek ke Muamalat dan terheran-heran kok ada uang masuk lagi (ternyata dari kantor), saya bilang sudah. Dia pun menimpali dengan senyum. Hari ini, saya ditemani atasan saya untuk lunch (maaf, secara saya sedang tidak puasa karena masalah wanita,hehe..), padahal dia sudah membawa jatah makan siangnya sendiri dari rumah untuk makan diam-diam di dalam ruangan dengan alasan menghormati orang-orang berpuasa.

pergilah kami berdua ke tempat bakmi ayam kesukaan kami yang lokasinya tak jauh dari kantor dan pas berseberangan dengan pasar rumput. kami memesan mi ayam bakso 2, dia minum fanta rasa anggur, dan saya memilih jus jambu kelutuk dengan alasan ingin menambah kadar Hb (hemoglobin).

saya mengawali pembicaraan dengan pertanyaan
"mba tadi dipanggil ibu (maksudnya direktur eksekutif kantor saya) kenapa?ada masalah?"
biasanya dia yang selalu bertanya hal senada ke saya mengenai pekerjaan-pekerjaan saya.

"nggak de', cuma membahas yang waktu hari jum'at", jawabnya.

"emang hari jum'at ada apaan?aku kan ke UI depok, sorenya baru balik ke kantor", tanyaku lagi.

"itu..masalah THR dan ruangan baru kita nanti", sergahnya.

"ooo...eh iya, katanya mba dapat THR juga ya?kok begitu, jadi bulan Desember mba gimana?ruangan barunya kenapa?", tanyaku lagi bertubi-tubi.

"nah itu dia de', saya merasa tersinggung dengan alasan kenapa saya diberikan THR sekarang, bukan karena jumlah nominalnya, tapi saya merasa tidak dihargai sesuai dengan yang seharusnya. Saya merayakan hari raya Desember nanti, tapi kenapa dengan alasan penyeragaman dan memudahkan bagian keuangan. Pimpinan kantor bertindak tanpa meminta konfirmasi terlebih dahulu, ini hal yang riskan, kenapa tidak dibicarakan terlebih dahulu ke saya. Apa saya tidak punya hak untuk berpendapat?Apa mereka tidak mau menerima perbedaan?saya tahu, saya lain sendiri disana. Tapi apa tak ada alasan lain yang lebih bijaksana?", jawabnya dengan nada bergetar dan sedikit melinangkan air mata.

lalu saya yang sedari tadi hanya diam mendengarkan hanya bisa menimpali,
"mba tenang aja, maksud mereka mungkin bukan begitu.biarpun mba nggak seagama sama sultra, toh selama ini semuanya baik-baik saja kan.mungkin memang seperti itu alasannya, meskipun sultra juga kalau jadi mba akan merasakan hal yang sama. tapi, mba tenang aja deh..yang penting kan saling menghargai", jawab saya dengan senyum.

"tapi nggak bisa terus begitu de', kamu masih ingat kan masalah sebelumnya, untuk kedua kalinya terulang dan terkait dengan diskriminasi. cuma karena saya non islam, maaf sultra..", jawabnya lagi.

"mba, mba W tahu? (manager saya yang sedang bertugas di Ausiie). coba mba diskusiin ke dia, bagaimanapun dia kan atasan kita dan mungkin dia yang bisa jadi penghubung antara mba dengan mereka" tanyaku.

"mba W sudah tahu, dan dia marah langsung mengirimkan e-mail dan sms ke mereka bernada ini bla...bla...bla...(panjang, pokoknya terkait ketidaksukaan mengenai hal yang mengarah ke diskriminasi itu)", sergahnya.

"ya sudah, biar itu diselesaikan mba W. toh! mba kan sudah bicara dengan mereka, meski lagi kata maaf terlontar. siapkan saja dada yang lapang, lagipula saya, mba W dan mba D nggak pernah melihat mba dari agama mba. Kita kan partner kerja, jadi harus kompak. Mba udah lihat iklan coca cola yang baru? sultra suka banget. begitulah seharusnya kita", timpalku dengan semangat dan senyum.

"iklan yang mana?hampir tadi pagi memutuskan untuk tidak ke kantor, tapi pas mikir lagi tentang kerjaan juga kerjaanmu, jadi membatalkan niat itu.", kilahnya.

"lhoo...kalo mba nggak ada, ntar nggak ada yang ngeliatin sultra ngomong sendiri 'n tiba-tiba nangis pas lagi ngerjain kerjaan bejibun itu dong?iklannya bagus, ntar mba lihat aja",

"huss! kamu itu, iya nanti ta' lihat. thanks de' "

kenapa keyakinan yang kita miliki harus menyakiti orang lain, jika masih ada cara yang lebih bijak untuk menunjukkan betapa indahnya keyakinan yang kita pegang. terkadang ada hal-hal yang sebenarnya lebih substantif daripada sekedar berbicara dosa secara tekstual. bukankah menyakiti orang lain termasuk dosa?terlebih sulit untuk disembuhkan, apalagi karena kata yang salah bicara.

merujuk pada agama yang saya yakini, terdapat ayat (Q.S Al Hujurat ayat 13) yang menyatakan bahwa kita dilahirkan bersuku-suku, berbangsa-bangsa, dan dengan perbedaan lainnya dengan tujuan agar saling kenal mengenal dan mengasihi.

dan bukankah Islam itu rahmatan lil 'alamiin? rahmat bagi seluruh umat, siapapun itu.
Orang bisa saja soleh secara pribadi, tapi akhlaknya cacat jika kesolehan sosialnya tak ada.
sungguh! sudah terlalu banyak pelajaran bahwa "satu diskriminasi akan melahirkan diskriminasi lainnya". ini juga yang dialami saudara-saudara kita di Perancis, Palestina, Inggris, dan belahan bumi lainnya. Bukankah lebih enak jika yang muncul sikkap positif, saling mengerti dan menghargai. bukan dendam ataupun pembalasan.

Allah...maafkan hamba dan mereka yang tidak menyadari kedzalimannya atas nama perbedaan yang muncul. Cukuplah Rasulullah dan para ta'biin menjadi tauladan bahwa akhlak yang baik diutamakan.

03 October, 2007

belajar pada daun

Pada sebuah siang yang menyengat di bulan September, saya bertemu kembali dengan kawan lama. Seorang perempuan yang terluka jiwanya justru oleh suaminya sendiri.

Ya, dulu saya pernah bercerita tentang perempuan ini. Dialah Rini, perempuan muda yang menjadi istri seorang lelaki pengidap HIV. Celakanya, Rini baru tahu, justru setahun setelah keduanya menikah.

Kala itu saya mencoba memberinya ketabahan. Lalu saya bilang, mengapa kita tak belajar kepada daun yang tetap bermanfaat bagi kehidupan kendati ia telah rontok ke tanah.

"Daun?" tanya Rini saat itu.
"Ya, daun...," jawab saya.
"Daun..., akulah itu daun yang kini dimakan ulat, meranggas pelan-pelan sebelum akhirnya mengelinting kering," Rini putus asa.
"Semua orang juga akan kering mengelinting."
"Tapi tidak seperti aku."
"Ah, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok."
"Maksudmu?"
"Kenapa kita memikirkan sesuatu yang sungguh mati bukan urusan kita."
"Lantas?"
"Menjadi daun itulah maksudku. Tak soal dimakan ulat atau diserang hama lainnya, toh ketika rontok, lantas jadi humus, ia bermanfaat bagi tanah yang menumbuhkan kehidupan bagi tanaman."

Saat bertemu kembali di sebuah tempat di Jakarta Selatan, Rini pun membuka percakapan,

"Kini aku telah menjelma jadi daun."
"Daun?"
Saya yang membuat analogi, saya pula yang kemudian lupa.
"Iya, saya telah menjadi daun, seperti yang mas pernah usulkan kepada saya ketika saya putus asa bertahun-tahun lalu," ujar Rini.
"Hmm ya, daun apa yang Rini pilih?"
"Daun apa saja, sepanjang itu bermanfaat bagi kehidupan."

Saya yang belum ngeh dengan arah perbincangan di siang itu, mencoba pura-pura faham dengan materi perbincangan. Saya pun dengan gagah berani mengurai tentang daun.

"Ya..ya daun, daun merupakan salah satu organ tumbuhan yang tumbuh dari batang, umumnya berwarna hijau dan terutama berfungsi sebagai penangkap energi dari cahaya matahari melalui fotosintesis," kata saya sok tahu.
"Oh..begitu ya Mas?" Rini melongo.
"O iya..., daun juga organ terpenting bagi tumbuhan dalam melangsungkan hidupnya karena tumbuhan adalah organisme autotrof obligat, ia harus memasok kebutuhan energinya sendiri melalui konversi energi cahaya menjadi energi kimia."
"Trus mas?..."
"Bentuk daun sangat beragam, namun biasanya berupa helaian, bisa tipis atau tebal. Gambaran dua dimensi daun digunakan sebagai pembeda bagi bentuk-bentuk daun. Bentuk dasar daun membulat, dengan variasi cuping menjari atau menjadi elips dan memanjang. Bentuk ekstremnya bisa meruncing panjang."
"O...."
"Daun juga bisa bermodifikasi menjadi duri, misalnya pada kaktus, dan berakibat daun kehilangan fungsinya sebagai organ fotosintetik. Daun tumbuhan sukulen atau xerofit juga dapat mengalami peralihan fungsi menjadi organ penyimpan air. Ngerti kamu Rin?"
"Nggak."
"Kurang jelas saya menerangkannya?"
"Bukan..., bukan itu maksud saya. Saya tak butuh penjelasan tentang daun. Saya hanya mengambil filosofinya."
"Lo.., daun ada filosofinya toh?"
"Gimana sih mas ini, bukannya Mas yang menguraikan filosofi daun saat saya putus asa dulu?"
"Astaga..., ya... sekarang saya ingat. Waktu itu kita berada di lereng Gunung Salak, bukan?"
"Ya."
"Di rumah yang di sekelilingnya ditumbuhi tanaman obat?"
"Betul."
"Bagaimana rasanya menjadi daun?"
"Tenang, damai..."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena tahu bahwa daun memberi kehidupan buat pohonan, karena daun tahu suatu saat pasti akan rontok, dan daun juga tahu ketika telah jatuh ke tanah dirinya bisa bermanfaat buat kehidupan lainnya."

Kami diam sejenak. Saya tak lagi merasai matahari yang garang, jawaban Rini itulah yang membuat hati saya jadi sejuk.

"Apa kegiatanmu sekarang, Rin?"
"Bekerja bersama kawan-kawan yang peduli dengan para korban narkoba."
"Trus kamu jadi apa di sana?"
"Jadi daun."
"E...maksudku, apa tugasmu di tempatmu bekerja?"
"Ya persis seperti daun itulah. Kami mencari peluang dengan memberi proposal kepada para penyandang dana yang mau membantu kegiatan kami. Persis seperti daun yang menyerap sinar matahari sebagai energi kehidupan. Kalau sudah dapat, kami pun membuat berbagai program. Ada program pendampingan, membeli obat-obatan, mencari rujukan rumah sakit, dan seterusnya."
"Syukurlah."
"Ya, saya juga bersyukur pernah ketemu Mas dulu. Kalau tidak..."
"Kalau tidak kenapa?"
"Saya mungkin tidak memilih jadi daun, tapi jadi petani daun ganja."
"Hus, ngawur."
"Becanda, Mas."
"Eh, omong-omong..., bagaimana kondisi suamimu?"
"Dia bekerjasama dengan saya juga sebagai tim pendamping korban narkoba."
"Kamu sendiri kondisi kesehatanmu bagaimana sekarang?"
"Saya sudah tak memikirkan diri saya lagi. Mungkin lantaran saya tak memikirkan diri saya sendiri yang justru membuat saya jadi lebih kuat."

Ah, inilah rupanya salah satu rahasia para pekerja sosial macam Rini. Mereka kuat secara fisik dan mental justru lantaran lebih banyak memikirkan orang lain daripada memikirkan dirinya. Bukankah para Nabi, para Wali, dan juga para orang suci juga berbuat hal sama, mereka lebih banyak memikirkan orang lain ketimbang dirinya sendiri?

"Rin.."
"Ya, Mas."
"Kamu hebat."
"Ah, biasa aja kok Mas. Saya hanya selembar daun aja."

Tak terasa, matahari telah ngeloyor ke barat. Lampu-lampu di jalan sudah mulai menyala. Saya pun pamit kepada Rini.

"Sampai ketemu ya Rin."
"Ok, Mas."
"Jaga dirimu bak-baik."
"Ya. Mas. O iya Mas, nanti, suatu ketika, saat daun ini menjadi kuning dan gugur ke bumi, kenanglah selalu aku ya Mas."

Saya hanya menjawab dengan senyuman getir. Tak terasa, air di mata saya menggenang. Saya cuma kuasa mengangguk saja, sembari berucap dalam hati.
"Pasti Rin, pasti."

Cerita menarik ini saya dapat dari seorang teman, semoga bermanfaat.
Sumbernya dari sini :
jodhi@kompas.com
Bisa juga dilihat disini :
Belajar pada Daun
http://kompas.com/ver1/Negeriku/0710/01/052006.htm

01 October, 2007

k.a.m.u

kamu :

satu!
seperti anak merajuk sewaktu tak dihiraukan ibu

dua!
seperti perempuan menunduk sewaktu didera malu

tiga!
seperti seorang tua membungkuk ditelan waktu

terakhir...!
seperti buku yang kubaca sebagai penyempurna jiwa

perempuan - lelaki, menulis

perempuan menulis dengan cinta,
ditemani air mata yang kian lama mengiring

lelaki menulis dengan logika,
diiringi peluh yang kian lama mengering

perempuan, lelaki, cinta, logika, air mata dan peluh mengerut tanpa keluh,
di hadapan-NYA semua bersimpuh

bertemu kenangan

pelan-pelan aku meratakan jalanan yang digenangi kenangan
tetap mengendap dalam ingatan meski tak lagi menyakitkan

sesekali berjumpa dalam senyuman

ada yang pernah katakan,
berkariblah dengan kenangan, dan kau tak kan mungkin merasa kehilangan atau kesepian
sebab dia mengada, pada jiwa yang dipenuhi cinta

28 Sept 2007
di angkot menjelang buka