22 June, 2006

Negeri 1001 Masalah

Akhir-akhir ini butuh ketegaran rasanya jika harus membaca berita baik itu di media cetak maupun elektronik. Selalu muncul pertanyaan yang ujung-ujungnya sulit untuk dijawab dan seakan-akan seperti halnya lingkaran setan yang tak bisa putus. Setelah negeri ini beberapa bulan yang lalu mengalami bencana tak terduga (Tsunami) di Aceh dan memakan korban ratusan ribu jiwa, kasus Ambalat yang begitu cukup menegangkan hubungan kedua negara Indonesia-Malaysia, maraknya flu burung dengan segala dampaknya terutama bagi para peternak, kasus persidangan Munir, hingga semakin merajalelanya korupsi di tiap pelosok bahkan pada sebuah instansi yang seharusnya tak layak untuk melakukan itu (KPU dan Polri). Semua sudah cukup menyakitkan. Karena buntut-buntutnya rakyat kecil yang makin menderita, ditambah lagi kenaikan harga BBM dengan dalih subsidi yang akan dialokasikan untuk anggaran pendidikan dan kesehatan gratis. Sekali lagi belum ada realisasi yang signifikan, hal ini dibuktikan banyak kasus baru di dua sektor tersebut.Belum selesai semua masalah tersebut, sudah banyak lagi masalah baru yang harus diemban negeri ini yang lagi-lagi mempengaruhi dan merugikan rakyat kecil. Sepertinya pemerintahan SBY-JK benar-benar sedang diuji ketangguhannya dalam menghadapi masalah yang silih berganti di negeri malang ini. Kredit macet senilai Rp.2,28 triliun dan 225,78 juta dollar AS dari 34 debitor eks Bank Mandiri, karena hal ini mau tak mau negara harus turut pusing menyelesaikannya jika tak ingin mengulangi kejadian krisis ekonomi tahun 1998. Tak hanya itu pemerintahan SBY-JK pun harus memutar otak untuk munculnya masalah-masalah kesehatan. Mulai dari maraknya kasus lumpuh layu (polio) yang menyerang anak-anak di beberapa wilayah, padahal sejak 5 tahun lalu Indonesia dinyatakan Bebas Polio, saya ingat sekali ketika itu tiga tahun berturut-turut (1995-1997) diadakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN). Tidak hanya kasus polio yang menyeruak ke permukaan tapi juga kasus maraknya busung lapar di NTB dan beberapa wilayah. Alhasil bapak Presiden yang terhormat terheran-heran dengan menguaknya kasus ini, karena selama ini sudah beberapa kali rapat dengan para gubernur di kantor Presiden dan laporan yang selalu dia terima hanya ABS –Asal Bapak Senang-. Menurut Kepala Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Prof.dr.Ascobat Gani MPH, kasus ini merupakan fenomena gunung es dan puncak masalah gizi buruk di Indonesia yang telah berlangsung bertahun-tahun (Kompas, 14/06). Tak dapat dipungkiri kenaikan BBM salah satu pemicunya, jika dipikir lagi mana bisa masyarakat miskin lebih mengutamakan sekolah (pendidikan), jika untuk makan saja susah karena harga bahan pokok yang melambung tak terkejar daya beli mereka. Belum lagi ditemukan kasus semakin menyebarnya AIDS di wilayah Papua.Selain itu masalah-masalah yang juga menjadi catatan penting yaitu lemahnya penegakan supremasi hukum dengan bukti banyaknya kasus yang belum terselesaikan, bahkan semenjak munculnya keputusan dibebaskannya Nurdin Halid dari segala dakwaan sangat kontroversial dengan gerakan genderang perang terhadap korupsi yang ditabuh Pak SBY. Jika begini terus sudah diduga hasilnya akan sama saja dengan kasus-kasus korupsi sebelumnya. Apa sebenarnya yang dapat dilakukan? Bersamaan dengan bangkitnya gerakan moral anti KKN , kita perlu membangun sistem. Sistem ekonomi, sistem politik sehingga kita tertutup peluang untuk KKN. Sebuah pekerjaan yang tidak mudah dan butuh waktu yang lama, tak semudah membalikan telapak tangan. Saya pernah membaca mengapa negara-negara Skandinavia maupun Singapura keuar sebagai negara yang bersih; karena sistem ekonomi, sistem politik nya menutup peluang untuk melakukan KKN. Mereka memiliki sistem kesejahteraan yang menutup kemungkinan itu, yaitu “partisipative welfare state” yakni seluruh rakyat ikut mewujudkan tercapainya tingkat kesejahteraan yang tinggi, melalui kepemilikan perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja sebagai anggota koperasi tenaga kerja di perusahaan itu. Selain itu, juga sistem jaminan sosial yang diterapkan kedua negara itu nyaris sempurna sehingga warganya dapat hidup tenang sepanjang hidupnya. Birokrat di Singapura termasuk yang menerima gaji tertinggi di dunia. “Central Provident Fund” Singapura, semacam Jamsosteknya Indonesia, yang menjadi tulang punggung dalam mewujudkan tingkat kesejahteraan masyarakat.Masih banyak lagi masalah yang harus dihadapi negeri 1001 masalah ini. Maraknya illegal logging (penyelundupan hasil hutan), pembajakan hasil karya (HAKI), terorisme, trafficking (perdagangan manusia, terutama pada anak-anak dan perempuan), peningkatan jumlah pengangguran, banjir di beberapa kota besar, krisis BBM, pembangunan yang menimbulkan kecaman dan kekerasan (dikeluarkannya Perpres No.39 th.2005), kasus TKI kita, pornografi yang makin merajalela, dan sebagainya. Entah apa dosa kita, masalah demi masalah silih berganti dan tak jarang terjadi secara beruntun. Apakah Tuhan sedang memberi peringatan? Hampir semua masalah ini jelas timbul karena kesalahan manusia sendiri. Kita seakan-akan tak pernah mengambil pelajaran dari apa yang sebelumnya terjadi. Jatuh di lubang yang sama berkali-kali. Meskipun terus mengalami pergantian kepemimpinan, jika terus begini kita tak akan pernah bisa menyelesaikan masalah-masalah itu satu per satu. Sudah saatnya kita bekerjasama mengatasi masalah-masalah ini, “gotong royong” jangan hanya dijadikan slogan. Sudah saatnya kita bangkit dan melakukan perubahan!!!.

16 June, 2006

katamu

Aku tak pernah habis berkata
Aku tak pernah habis berucap

Rinduku tak pernah habis
Sayangku tak jua habis

Ingatanku terus memudar
Tapi tak pernah habis tentangmu

Kenyataan terus berjalan
Tapi tak pernah habis mimpiku

Jeda sejenak dibutuhkan
Tapi aku hanya menganggapnya
Koma, kutip, spasi, dan tak pernah titik
Pun itu akhirnya enter

Waktu membuatku menikmati hidup
tanpa harus mengakui keberadaanmu
Namun engkau datang lagi
lewat wujudmu,suaramu,bayangmu,mimpi atau lainnya

Kadang engkau seperti karet
Ketika ku menjauh, kau mencoba mendekat
Kadang aku yang seperti ombak
Ketika kau menjauh, aku mencoba mendekat

Sebenarnya apa sih maumu?
Apa sih mauku?
Apa maunya kita?
Sudah jelas bukan?

Kita harus memberi jarak
Pada rasa yang harus dibatasi
Kita memang belum layak
Mungkin bisa dijalani namun itu tak pasti

Aku hanya ingin ketenangan
Meski hanya dengan harap dan tangis di sujud sepertiga malam-Nya

titik
(akhirnya..)

15 June, 2006

phyctophobia

Photobucket - Video and Image Hosting
Ketika malam menyergap
Aku mulai merasa pengap
Karena malam terkadang begitu membius
Meski bintang-bintang gemerlapan

Jujur aku takut gelap
Terlebih di ruangan senyap

Semuanya hitam,
Melebur dalam gelap,
Ketiadaan..
Kehampaan..
Fatamorgana..

Namun akhirnya kuharus berteman denganmu
Engkau hitam
Dan aku cahaya yang bersinar

Kini,
Selalu saja ada terang
Meski hanya dalam hitam

Engkau hitam..
Aku cahaya..

11 June, 2006

Orang miskin dilarang mati!

Sedih rasanya ketika harus melihat berita mengenai pemulung bernama Supriono yang hari minggu lalu (5/6) terpaksa menggendong jenazah anaknya yang bernama Kairunisa berusia 3 tahun. Hal ini harus dia lakukan karena ketidakmampuan menyewa mobil jenazah apalagi memakamkannya di salah satu pemakaman di Jakarta, dengan peluh mengucur ia harus menggendong anaknya untuk dimakamkan di Kramat, Bogor. Tentu saja dia sangat bingung, dengan uang Rp.6.000 apa yang dia bisa perbuat jika dibandingkan harus menyewa mobil jenazah yang mencapai Rp.450.000 atau menguburkan anaknya di Ibukota yang biayanya bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan. Lalu dimana peran dana alokasi kompensasi BBM yang dijanjikan salah satunya pada sektor kesehatan bagi rakyat miskin?karena sebelumnya pada kasus ini Supriyono yang berpenghasilan rata-rata Rp.10.000 per hari hanya mampu satu kali membawa Khairunisa ke puskesmas untuk mengobati Muntaber yang dideritanya, selebihnya pengobatan yang diterimanya tak tuntas karena ketiadaan dana hingga akhirnya meninggal di dalam gerobak pemulung milik ayahnya. Kali ini bertambah lagi catatan kegagalan alokasi dana Kompensasi BBM. Dan yang patut disayangkan kemana nurani masyarakat sekitar yang melihat kejadian itu. Saya sampai berpikir, ada benarnya juga apa yang dikatakan Budiarto Sambazy (Kompas,11/06) dalam tulisannya “Abad Gelap Kita”, bahwa tidak ada istilah “rakyat kita” yang ada hanya saudara kita, teman kita, dan suku kita. Maksud tulisan ini terkesan jika harus dibantu, masih banyak orang yang harus dibantu hingga akhirnya daripada repot sendiri lebih baik tak usah dihiraukan. Masyarakat ibukota terkesan buat apa melakukan sesuatu yang bukan tanggung jawab diri dan beranggapan akan ada orang lain yang melakukannya, namun kenyataannya tak satupun yang ada. Kasus seperti ini mungkin masih banyak terjadi, dan bukan tak mungkin ini juga terjadi di beberapa wilayah negeri ini. Lagi dan lagi orang miskin tidak hanya dilarang sekolah dan dilarang sakit, namun juga dilarang mati. Sekedar tawaran mungkin setelah kejadian ini terkuak, Eko Prasetyo si penulis buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah” dan “Orang Miskin Dilarang Sakit” dapat menambahkan karyanya berjudul “Orang Miskin Dilarang Mati”. Ini hanya sekedar tawaran teman..