Sedih rasanya ketika harus melihat berita mengenai pemulung bernama Supriono yang hari minggu lalu (5/6) terpaksa menggendong jenazah anaknya yang bernama Kairunisa berusia 3 tahun. Hal ini harus dia lakukan karena ketidakmampuan menyewa mobil jenazah apalagi memakamkannya di salah satu pemakaman di Jakarta, dengan peluh mengucur ia harus menggendong anaknya untuk dimakamkan di Kramat, Bogor. Tentu saja dia sangat bingung, dengan uang Rp.6.000 apa yang dia bisa perbuat jika dibandingkan harus menyewa mobil jenazah yang mencapai Rp.450.000 atau menguburkan anaknya di Ibukota yang biayanya bisa mencapai ratusan ribu bahkan jutaan. Lalu dimana peran dana alokasi kompensasi BBM yang dijanjikan salah satunya pada sektor kesehatan bagi rakyat miskin?karena sebelumnya pada kasus ini Supriyono yang berpenghasilan rata-rata Rp.10.000 per hari hanya mampu satu kali membawa Khairunisa ke puskesmas untuk mengobati Muntaber yang dideritanya, selebihnya pengobatan yang diterimanya tak tuntas karena ketiadaan dana hingga akhirnya meninggal di dalam gerobak pemulung milik ayahnya. Kali ini bertambah lagi catatan kegagalan alokasi dana Kompensasi BBM. Dan yang patut disayangkan kemana nurani masyarakat sekitar yang melihat kejadian itu. Saya sampai berpikir, ada benarnya juga apa yang dikatakan Budiarto Sambazy (Kompas,11/06) dalam tulisannya “Abad Gelap Kita”, bahwa tidak ada istilah “rakyat kita” yang ada hanya saudara kita, teman kita, dan suku kita. Maksud tulisan ini terkesan jika harus dibantu, masih banyak orang yang harus dibantu hingga akhirnya daripada repot sendiri lebih baik tak usah dihiraukan. Masyarakat ibukota terkesan buat apa melakukan sesuatu yang bukan tanggung jawab diri dan beranggapan akan ada orang lain yang melakukannya, namun kenyataannya tak satupun yang ada. Kasus seperti ini mungkin masih banyak terjadi, dan bukan tak mungkin ini juga terjadi di beberapa wilayah negeri ini. Lagi dan lagi orang miskin tidak hanya dilarang sekolah dan dilarang sakit, namun juga dilarang mati. Sekedar tawaran mungkin setelah kejadian ini terkuak, Eko Prasetyo si penulis buku “Orang Miskin Dilarang Sekolah” dan “Orang Miskin Dilarang Sakit” dapat menambahkan karyanya berjudul “Orang Miskin Dilarang Mati”. Ini hanya sekedar tawaran teman..
No comments:
Post a Comment
jika mampir dan sempat membaca, silahkan sejenak berkomentar...terima kasih ^_^