19 December, 2007

cerita sahabat dari Malaysia [true story]

hari ini saya bertemu salah satu sahabat saya yang sejak pertengahan tahun 2006 bekerja sebagai Staf Kedutaan di KBRI Malaysia, pertemuan kami seperti biasa di dunia maya via om YM. seperti biasa percakapan dengan dia selalu diawali dengan kata-kata cinta dan sayang. dia masih saja sahabat yang sangat perhatian. lalu perbincangan kami mengarah ke permintaan tanggapan atas tulisan masing-masing. Sahabatku yang satu ini salah satu wanita besi, multi talented, haus pengetahuan, memiliki pemikiran destruktif namun konstruktif (nah lho?bingung kan..), nggak neko-neko, cantik tapi cerdas (jarang kan...yang begini), satu lagi orangnya sangat low profile. Kami berdua bersepakat suatu waktu akan menyusun sebuah buku bersama yang bisa mengkontribusi perubahan yang baik ke negeri ini (iya, Indonesia!).Mimpi yang tertunda :p


Dia mengirimkan tulisannya yang berisi pengalamannya yang dikirimkan ke surat pembaca di salah satu media Malaysia bernama Utusan Malaysia.

ini adalah penggalan e-mail yang dia kirimkan ke saya mengenai pengalamannya, memang cenderung emosional, tetapi beginilah salah satu realitas yang ada.

Teman-teman, Pada 12 Desember saya diusir dari taksi dan dihina, dicaci maki di tengah jalan oleh sopir taksi tanpa alasan yang jelas. Ini sekedar luapan emosi melalui tulisan, cerita tentang sebuah penghinaan. Kalau ada tulisan yang sudah pernah saya kirimkan, saya kirimkan kembali sebagai sebuah rangkaian yang pernah saya tulis. Kejadian kemarin kembali mengingatkan seluruh cerita pahit saya hidup di Malaysia. Namun kemarin adalah yang terpahit(kalo di masa depan ada lagi saya gak tau ya), tapi kejadia dihina dicaci maki tanpa alasan hanya karena saya orang Indonesia menjadi goresan abadi di memori hidup saya. Satu tulisan lagi jawaban saya terhadap surat pembaca yang dimuat di Utusan Malaysia pada 11 Desember 2007, dari seorang pelajar Malaysia di Indonesia, yang mengeluhkan berita - berita tentang Malaysia di media-media Indonesia. Dia sempat mengungkapkan bahwa Malaysia telah banyak memberikan kehidupan bagi WNI dan Indonesia telah banyak hutang budi. Dia juga menuliskan bahwa Malaysia berhak mengusir pendatang ilegal. Masalahnya bukan berhak atau tidak, namun cara mereka mengusir itu yang kita permasalahkan.

Dan kalau mau baca, tiga tulisan ini adalah pengalamannya selama di Malaysia.

[1] Bukan Gairah Hentam Malaysia, Kami Membuat Reaksi

Membaca surat pembaca dari Masnorman, yang menimba ilmu di Jakarta, saya paham betul apa yang ia rasakan. Merasa sakit hati ketika negaranya dihina di media-media di Indonesia. Sayapun begitu, sejak setahun yang lalu saya berada di Malaysia, saya membaca media-media Malaysia tentang Indonesia, bukan main sakit hatinya. Dengan sebutan “Indon Pembunuh”, “Indon Pelacur”, “Indon Bawa Penyakit”, dan segala sesuatu busuk dan buruk tentang “Indon”. Dan bukan itu saja, selama saya setahun berada disini, bukan cuma tempaan hina dari media di Malaysia. Melainkan juga masyarakat sekitar, terutama sopir taksi di Malaysia. Saya kecewa mengapa negara yang begitu maju ekonominya, bisa begitu terbelakang pemikiran dan budayanya.

Salah satu pekerjaan saya adalah mengkliping koran, jadi hari demi hari semenjak setahun yang lalu harus saya telan bulat-bulat berita hinaan tentang Indonesia, jadi untuk Masnorman saya rasa saya tahu apa yang anda rasakan. Untuk informasi, saya bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kuala Lumpur bagian pendidikan. Maka apabila Masnorman pergi belajar ke Indonesia sejak tahun lalu, maka pastilah pernah bertemu dengan saya. Saya tidak memiliki masalah personal dengan warganegara Malaysia. Saya juga tidak suka menghina dan saya tahu bukan budaya kami menghina. Seluruh dunia tahu bahwa orang Indonesia itu ramah, bahkan karena terlalu ramah dan sopan mudah sekali untuk dinjak-injak. Kami sangat mudah untuk memaafkan dan menyayangi.

Untuk Masnorman, percayalah, media di Indonesia lebih suka mengkritik pemerintahan Indonesia, mengkritik sosial budaya demi membangun masyarakat. Di Indonesia minat baca masih rendah, warganegara kami yang suka membaca lebih menyukai bacaan sosial politik masalah nasional. Maka bukan tidak ada sebab media-media di Indonesia memberitakan tentang Malaysia. Ini hanya balasan reaksi dari apa yang kami terima. Cobalah Masnorman kembali mengingat apa yang media-media di Malaysia telah beritakan tentang Indonesia selama setahun kebelakang. Sebelum media-media di Indonesia mengungkap tentang masalah Indonesia-Malaysia. Cukup arifkah media di Malaysia? Kalau Masnorman mau berbijaksana, cobalah Masnorman mengerti dan memberi pengertian pada sesama warga Malaysia, bahwa kalau di Indonesia media-media bukan mengentam dan menghina. Mereka hanya bereaksi.

Masnorman, pernahkah Masnorman dicaci maki karena Masnorman orang Malaysia ketika berada di Indonesia? Saya pernah dicaci maki oleh sopir taksi di Malaysia, bahkan diusir dari taksi itu, serta diteriaki “Indon Bustard, Criminals, Crazy”, tanpa alasan yang jelas. Apa rasanya Masnorman bila diperlakukan seperti itu tanpa sebab. Apabila Masnorman mau percaya atau tidak, itu adalah pilihan Masnorman, tapi jika ingin ada kedamaian, hati kita juga harus bijak dan berlapang dada, jika kita salah kita harus mengakui dan meminta maaf.

Kalau ada dari warganegara Indonesia yang memang berbuat salah, dengan lapang dada saya memohon maaf. Jangan menganggap bahwa kami sebagai warga negara Indonesai banyak berhutang. Kami bekerja, jadi Malaysia juga mendapatkan jeri payah kami, itu dinamakan simbiosis mutiualisme, bukan hutang budi. Kalau tidak memerlukan tenaga dari Indonesia, dengan senang hati saya mendukung larangan tenaga kerja Indonesia datang ke Malaysia.

[2]
Kami Bukan “Indon”

Bekerja dan hidup di Malaysia merupakan pengalaman hidup terpahit dalam hidup saya. Tidak pernah saya merasa begitu terhina menjadi manusia apalagi sebagai seorang warganegara Indonesia, dan dengan bangga dan rasa cinta saya mengungkapkan, “Saya adalah warganegara Indonesia”.

Ingin saya menceritakan pegalaman terpahit dari semua pengalaman pahit yang pernah saya alami. Kejadian ini terjadi pada pukul tujuh malam, hari Rabu tepatnya tanggal 12 Desember 2007. Hari itu saya merasa sudah cukup letih dan memutuskan untuk pulang meskipun sedang hujan.

Keluar dari gerbang Kedutaan KBRI Kuala Lumpur, kami, saya dan teman saya menunggu taksi. Kami tahu ini akan memakan waktu lama. Hanya sekedar informasi, kalau cuaca bagus dan masih relatif sore mencari taksi susahnya bukan main, apalagi hujan dan sudah malam.

Hingga beberapa puluh menit kedepan, ada taksi yang berhenti, saya merasa sangat bersyukur. Karena melipat payung terlebih dahulu, saya pikir akan sedikit memakan waktu, maka ketika masuk taksi saya mengucapkan “maaf yah” pada sopir taksi, standar orang Indonesia dalam bersopan santun.

Beberapa detik setelah siap dan menuju tempat tujuan, sopir itu bertanya “you Indon ke?”, saya jawab Indonesia”. Kemudian dengan nada tinggi dia kembali mengatakan “Indon”, saya jawab Indonesia dan berulang beberapa kali seperti itu. Kemudia dia mengatakan “ No Indonesia in Malaysia there is only Indon”, dengan nada marah-marah.

Kemudian dia menyusul makiannya dengan berkata, “I am a muslim I am scared of nothing, you indon did wrong, you scared people afraid to know you are indon”, dengan nada emosi dan bingung teman saya mulai melawan, “no..we aren’t scared of nothing, we are Indonesia not Indon”. Kemudian saya menyondongkan badan ke depan ke arah sopir dan menyorongkan muka ke arahnya dengan bertanya “ do you have problem?”. Kemudian dia menjawab “no, good enough.” Saya jawab “Ok”, dan dia membalas “Ok, no talk”.

Setelah saya balik duduk di posisi menyender, kembali dia berucap “you indon all crazy, criminals, get out of here, it’s free for you indon, get off ” dan mengucapkan itu berulang kali. Kami pun langsung turun, meskipun hujan dan sedang macet, taksi yang kami tumpangi berada di tengah-tengah jalan.

Cerita makian itu tidak berhenti sampai kami turun. Setelah kami ke pinggir sambil merasa shock, dia keluar dari taksi, berteriak-teriak ditengah jalan, “you indon bustard, you wont pay, you all criminals,” sampai-sampai semua orang dalam mobil yang sedang sesak dan macet itupun melihat ke arah kita.

Hanya informasi, bahwa argo di taksi itu hanya baru RM 2 lebih beberapa sen, karena kami baru sampai berjalan sekitar 200 meter. Membuka pintu taksi di Malaysia akan dikenakan tarif buka pintu sebesar RM 2, atau Rp, 5000. Lagipula dia mengusir kami dengan mengatakan “it’s free”. Buat apa kami bayar setelah dicaci maki dan diusir apalagi baru jalan sekitar 200 meter. Ketika mobil mulai berjalan pun dia membuka kaca dan tetap memaki. Saya tidak mengerti, saya sangat merasa sakit hati, tidak percaya ini terjadi.

Mengapa sulit sekali bagi mereka (saya tidak menyebut seluruhnya, namun mayoritas orang Malaysia) yang gemar sekali menyebut kami warga Indonesia dengan sebutan “Indon”. Sudah pekak telinga saya disebut-sebut sebagai “Indon”, dan sebagai pegawai staf lokal KBRI Kedutaan Indonesia, rasa ingin meluruskan istilah ini mungkin lebih besar daripada bagi warganegara Indonesia yang bekerja diluar KBRI Kuala Lumpur.

Bekerja di Instansi ini membuat saya melihat lebih jelas segala ketidakadilan yang dialami oleh WNI,. Walaupun begitu, saya berusaha membuat perbedaan dengan apa yang saya lihat dari nasib orang-orang Indonesia yang berada di penampungan dan yang mendapat kesuksesan mencari nafkah di Malaysia.

Nyatanya, saya sendiri ketika saya menginjakan kaki sejak keluar dari KBRI Kuala Lumpur, hinaan dan tawaan yang bernada merendahkan seringkali saya alami sebagai seorang warga negara Indonesia.

Kami bukan “Indon”, kami Indonesia, saya lelah dihina, saya lelah ditertawakan. Ingin sekali saya berteriak sampai menggema ke seluruh penjuru Malaysia bahwa dengan bangga dan rasa cinta saya mengungkapkan, “Saya adalah warganegara Indonesia”.


[3] TAK KENAL MAKA TAK BENCI

Biasanya, saya sering denger kata-kata, tak kenal maka tak sayang, karena sesuatu yang layak untuk disayang kadang-kadang tidak tereksplore karena tak dikenal. Begitu juga sebaliknya, menurut saya, kadang-kadang sesuatu yang patut dibenci tidak dibenci karena tidak dikenali. Maksudnya adalah, kalo nggak cukup kenal maka pasti nggak benci deh. Begini ceritanya...

11Juli 2006, pertama kali saya datang ke Malaysia. Begitu terpukau dengan infrastruktur yang megah, dari mulai airport KLIAnya saja sudah WAW.., shuttle train yang menghubungkan antar terminal, begitu spektakuler, jauh dari bayangan saya, kok Malaysia bisa ya??Timbul rasa sedih mengapa Indonesia tidak bisa seperti Malaysia. Saya bangga dengan negara tetangga. Ternyata bisa juga, dan saya yakin kalo Malaysia bisa, Indonesia pasti juga bisa, tinggal tunggu waktu. Kekaguman saya tidak berhenti sampai saya meninggalkan KLIA. Setelah itupun decak kagum terus menerus saya lontrakan.Segala sesuatunya yakni dari mulai transportasi publik, jalanan, gedung, dll sudah sangat rapi. Saya ingin kembali!!!! Balik dan bekerja di Malaysia.

14 Agustus 2006, Senangnya balik lagi ke Malaysia untuk bekerja. Saya yakin hidup akan menyenangkan disini. Negara tetangga, ras serumpun, kota yang relatif rapih dan bersih, begitu menyenangkan dalam angan-angan dan harapan saya!!!

Kenyataan... ternyata kenyataannya jauh dari bayangan yang ada di benak saya. Hari demi hari saya makin mengenal negara ini, kota ini. Semakin saya mengenalnya, semakin saya membencinya. Dari mengawali hari-hari, seringkali rasa sakit hati yang muncul. Misalkan ketika menunggu bus, dan karena pada awalnya layaknya orang baru, pastilah saya akan bertanya tentang informasi transportasi. Ketika bertanya dengan supir bus, pertama saya kaget sekali, dia tiba-tiba membentak saya, marah-marah dan tidak menjawab, lalu langsung menutup pintu busnya! gak sopan! supir metro aja gak pernah begitu!!!! Dan hari-kehari saya semakin tahu, entah hobi entah karakter mereka memang tidak ramah dan tidak sopan. Karena bukan itu saja, perilaku ini juga menjadi momok bagi supir taksi di Malaysia. Sudah 1000juta kali saya dimaki-maki, diturunkan supir taksi di tengah-tengah antah berantah, ditanya hal-hal kotor, pokoknya tidak akan ada habisnya nyeritain supir-supir taksi yang sakit jiwa. Dan mereka juga seneng banget nggak pake argo!!

Hal lainnya adalah Stereotiping orang INDON. Sudah 1000juta kali percakapan dengan orang Malaysia, mereka menduga saya orang sabah/philipin. Karena dialeknya aneh, tapi pakaian saya tidak seperti orang indon (mereka menstereotipekan orang Indonesia dengan pembantu rumah tangga, buruh, dan pekerja sektor informal lainnya). Lantas kalopun iya, apa salahnya??? Kenapa mereka begitu merendahkan? Seolah-olah kalopun iyah, TKI itu hal yang najis. Padahal demand pekerja disektor ini begitu besar! Dan pekerja disektor ini juga banyak dari Bangladesh, India dan sebagian kecil Vietnam. Lantas kenapa dengan Indonesia ??? APa salahnya??? Kenapa mereka begitu underestimated? ?Begitu jijik?? Begitu merendahkan? ?

Bagi mereka yang tinggal dan cukup lama di Malaysia, pasti benci dengan negara ini.
Selama ini belum pernah saya menemukan ada orang Indonesia yang tinggal di Malaysia dan menyayangi Malayasia. Bahkan begitu juga dengan teman-teman saya yang menikah dan memiliki anak warganegara Malaysia. Mereka memiliki perasaan yang sama, yakni benci dengan karakter orang Malaysia ( Bukan benci anaknya lho).

Tulisan ini bukan untuk menyebarkan kebencian, tapi sekedar black campaign untuk orang-orang Indonesia yang gemar belanja Vincci ke sini. Stop berikan income pada Malaysia. Mereka hanyalah bisa memandang Indonesia dengan sebelah mata dan memicingkannya serta mengrenyitkan dahi sambil berfikir "bodohnya orang Indonn!!).

Mereka lupa bahwa, akar rumpun mereka banyak berasal dari Indonesia. Raja-raja Malaysia merupakan keturunan dari Indonesia. Seperti di Johor, Selangor, Negeri Sembilan merupakan turunan Raja-Raja yang berasal dari bangsa Indonesia.

Saya ingin menceritakan banyaknya perlakuan ketidakadilan dan hal-hal yang sangat merendahkan oleh rakyat Malaysia, tapi apalah daya, terlalu banyak, nanti pada bosen. Pokoknya indikatornya adalah, Indonesia telah diangkat sebagai Dewan HAM pada 2007, sedangkan Malaysia telah di black List oleh PBB karena ketidakseriusannya menangani migrant worker dan pelanggaran HAM terhadap buruh migran tersebut (Orang-orang Indonesia) yang ada di Malaysia.

Pemerintahnya pun, melalui sensor media (berita-berita yang dikontrol pemerintah di Malaysia) terlihat sekali pemerintah Malaysia membenci Indonesia. maka pandangan rakyatnya terbentuk melalui berita-berita media itu, yang isinya tidak jauh dari, Indon Rampok, pekerja seks, dll. SETIAP HARINYA!!!! Tidak berdasarkan FAKta HANYA DUGAAN, Contoh, jika terjadi kriminalitas seringkali ada kata-kata "diduga orang indon". Padahal baru dugaan, dan katanya mirip orang Indon, emangnya kita bukan dari ras Melayu?? Gimana bedainnya???

Selain itu rakyat kita yang datang pada tahun 60-an untuk membantu Malaysia membangun kotanya yakni Kuala Lumpur, kini banyak yang stateless. Mereka yang diterima dengan tangan terbuka tanpa dokumen, diberikan SAP, surat akuan paspor dan diberikan IC merah tapi banyak yang meminta kewarganegaraan ditolak. Setelah Malaysia maju, mereka semua yang memiliki IC merah, bisa memperpanjang ICnya jika memiliki paspor (BUKAN SAP), Lantas bagaimana bisa, mereka sudah diberikan SAP, sudah lebih dari 5 tahun tidak memiliki paspor di luarnegeri, maka kewarganegaraan Indonesianya telah hilang, tidak bisa bikin paspor Indonesia lagi, dan Malaysia menuntut mereka harus memiliki paspor untuk memperpanjang IC. Bukankah itu tindakan yang luarbiasa jahat dari pemerintah MALAYSIA?? Setelah mereka membantu Malaysia membangun??

Selain itu seringkali saya mengalami kejadian aneh. Bagi anak-anak TKI jika ingin bersekolah di sekolah Malaysia harus mengisi formulir bukan warganegara. Lucunya ini juga sering terjadi bagi anak-anak TKI yang telah memiliki kewarganegaraan Malaysia. Mereka disuruh mengisi formulir bukan warganegara dan meminta surat dari kedutaan yang menyatakan mereka warganegara Indonesia, padahal mereka berpaspor merah. Sering saya tekankan pada orang tuanya bahwa anaknya itu warganegara, prosedurnya harus sama dengan warganegara lainnya. Saya suuruh gurunya membaca formulir itu, sambil saya garis bawahi tulisan FORMULIR BUKAN WARGANEGARA. Kata mereka, mereka telah mempertanyakan itu pada pihak sekolah, tetapi yang ada dimarahi dan disuruh ikuti prosedur. ANEH!!!! GAk bisa baca apa emang jahat banget sih!!!

Hmm saya rasanya belum cukup menceritakan hal-hal lainnya, yang jelas, kenali dululah sebelum memutuskan sayang, atau benci, suka atau tidak. Kalo hanya jalan-jalan, sekali-sekali datang, hanya tinggal di singapur atau tinggal di thailand kek dan punya temen banyak di Malaysia, jangan dulu ngomong sebelum tinggal disini. Saya juga punya banyak temen Malaysia, mereka kalo person to person emang oke banget, tapi kalo soal kerjaan..ck. .ck,,,ck, ,,gw bingung kok bisa maju.



4 comments:

  1. Membaca tulisan ini dan beberapa laporan lainnya, saya hanya bisa berdoa semoga Malaysia segera mengalami fase reformasi politik seperti halnya Indonesia di tahun 1998. Saya merasa kasihan dengan warganegara Malaysia yang sudah terlalu lama hidup dalam sistem "tertutup" dengan mengedepankan kemelayuannya semata. Hanya pemimpin yang benar-benar demokratis bisa mengubah pola pikir warga Malaysia untuk menjadi lebih toleransi terhadap etnis dan bangsa lain. Insya Alloh, doa yang baik akan mendapat jawaban yang baik. Amin.
    doel

    ReplyDelete
  2. asl.... kalau dah ada buku perdananya.. kabarin yah.. kali' bisa menyemangati dan meniru jejaknya.....hehehe
    ...enneng sibuk banget yaks...
    ok apapun aktivitasnya minumnya teh sosro... massudnya tetap semangat..
    Oiya selamat hari Ibu yah.. ( calon Ibu)

    ReplyDelete
  3. betul kata "anynomous" di atas..rakyat Malaysia mungkin sudah terlalu lama hidup di menara gading sehingga kemudian tanpa disadarinya tumbuh semacam kesombongan terhadap orang lain, khususnya terhadap bangsa serumpun.

    tapi saya bertanya-tanya, apakah ini tipikal orang Melayu yang sudah kaya..?. kira-kira kalau Indonesia yang lebih maju dari Malaysia apakah kita akan tetap jadi bangsa yang ramah dan sopan ?, atau menjadi bangsa yang sombong..?

    yang jelas, saat ini Malaysia mungkin memang lebih maju secara ekonomi dibandingkan kita. tapi dari segi yang lain mereka mungkin harus lebih berbenah.

    ada satu kecurigaan saya pada kasus perseteruan Indonesia-Malaysia ini..mungkikah ada permainan tangan yang lebih besar yang sengaja menimbulkan kebencian antar warga kedua negara untuk mencegah rakyat Asia Tenggara (muslim pada khususnya) utuk bersatu..?, well conspiracy theory...entahlah..

    reformasi politik dan budaya mungkin bisa "menyadarkan" mereka..
    ah...semoga..

    ReplyDelete
  4. salam sejahtera untuk anak bangsa...

    3 bulan pengalaman saya belajar sebagai overseas training program di Malaysia, puji Tuhan sangat baik...
    Mungkin kebetulan saya bertemu dengan orang-orang yang baik, melayu-melayu yang sangat sopan dan bersahabat.
    sebagai ilustrasi..
    saya adalah seorang dokter yang menjalani program pendidikan dokter spesialis bedah tulang di salah satu center pendidikan dokter spesialis di Indonesia. Pada tahun terakhir pendidikan kami diharuskan memilih overseas posting ke luar negeri. awalnya saya ingin pergi ke spanyol karena untuk ilmu kedokteran memang Eropa sangat maju, namun karena satu dan lain hal, Malaysia lah negara Tujuan saya..

    Sebelum saya pergi ke malaysia, terus terang yang da di benak saya adalah TAKUT !!!
    saya takut di hina dan di rendahkan, padahal apapun profesi seseorang tidak ada yang berhak merendahkan...

    Di lingkungan rumah sakit sebagai lingkungan akademisi, saya mencoba berbaur dengan siapapun, mencoba mengenal dan memahami budaya mereka...

    Secara general perlakuan mereka terhadap Orang Indonesia di Rumah sakit Sains Malaysia, Kubang kerian, Kelantan, sangat baik dan sopan..
    Di antara sejawat dokter tidak ada yang merendahkan, apalagi memanggil "INDON"..
    Hanya segelintir perawat(biasanya mereka ingin ngetes skill surgeon) yang berani menyebut saya dengan sebutan "INDON"..tapi saya tidak ambil pusing. saya berusaha bekerja sebaik mungkin dan akhirnya mereka bisa menghargai, bahkan kami bersahabat..

    Pertanyaan yang sering membuat saya kaget adalah..mereka berani menanyakan "agama kamu apa?" , bahkan pada saat pertama kali berjabat tangan...tetapi sebetulnya itu hanya rasa penasaran mereka, karena mereka tahu bahwa ras melayu di Indonesia tidak semuanya muslim...
    walhasil panjang lebar lah saya menceritakan tentang perbedaan budaya dan agama di Indonesia tetapi tetap bisa saling menghargai..bahkan satu rumah bisa berbeda2 agama dan tetap hidup harmonis dalam cinta kasih..
    Mereka sedikit mengernyitkan kening..tapi itulah Indonesia..
    dan saya dengan bangga mengatakan "Saya Dokter Residen Bedah Tulang dari Indonesia..Indonesia adalah tanah air saya.. , Saya bangga menjadi Warga negara Indonesia.."

    Saudara sebangsa dan setanah air..
    Mungkin esensi masalah nya bukan general orang Malaysia..tapi Individunya atau sekelompok orang dalam strata sosial tertentu saja.., yang pernah mendapat pengalaman buruk dengan orang Indonesia..sebetulnya orang jahat dan baik selalu ada di manapun..dan issu rasis selalu ada sampai kapanpun..DI MANAPUN...

    Untuk saudaraku yang mendapat perlakuan kasar dan hinaan, semoga tetap dapat tegar berjuang dan di beri kekuatan untuk bisa mempertahankan hak sebagai manusia. semoga pemerintah Indonesia memperhatikan anak bangsa yang sedang berjuang di negeri orang..

    berharap.. bukan impian bahwa Indonesia dan Malaysia bisa bersahabat..dalam damai..

    tulisan dari anak bangsa..

    Dr.Z


    p.s:
    dearest my best friend in Malaysia, teman sejawat dan sahabat2ku : Rahimah, Akram, Rozita .. terima kasih untuk semua persahabatan yang terjalin indah..
    Amir..terimakasih untuk semua cerita kita..

    ReplyDelete

jika mampir dan sempat membaca, silahkan sejenak berkomentar...terima kasih ^_^