Semenjak dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tentang pengadaan Tanah bagi Pelaksanan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, makin terlihat jelas bahwa pemerintah semakin tidak becus menangani pengentasan kemiskinan. Dengan dikeluarkannya peraturan ini, memungkinkan semakin meningkatnya penggusuran atas nama pembangunan. Lagi-lagi pembangunan atas nama kepentingan umum, kalau dipikir mungkin definisi kepentingan umum saat ini sudah berubah. Bukan lagi mengacu pada masyarakat namun kepada para pebisnis. Dalam hal ini pebisnis (pihak swasta) sangat diuntungkan karena dapat dengan seenaknya membangun proyek dan bekerjasama dengan pemerintah atas nama pembangunan, jika ditinjau kembali ada beberapa persoalan krusial didalamnya yang menyangkut kelemahan Perpres ini. Komisi II DPR yang beberapa kali mencoba membahas Perpres ini menyatakan ada beberapa hal yang dapat membuka keran penyimpangan (Kompas, 11/6).Pertama, banyak pasal yang membuka beragam penafsiran dalam hal ini kurang jelas dan spesifik sehingga berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang. Kedua, adanya beberapa pasal yang terlihat bertabrakan dengan satu sama lain dan bertentangan dengan UU. Ketiga, ketidakseimbangan posisi hukum antara pihak-pihak yang terkait dalam proses sengketa tanah. Dan keempat, ada beberapa pasal yang dalam implementasinya di lapangan dapat merugikan rakyat.Nah.. terlihat jelas bukan, jika Perpres ini kenyataannya banyak menuai kontoversi di masyarakat, mulai dari kalangan petani, nelayan, mahasiswa, masyarakat miskin kota, kelompok agama, pelajar, dan organisasi Non pemerintah. Yang selalu menjadi ironi di negeri ini salah satunya adalah persoalan penentuan kebijakan yang diambil pemerintah. Pemerintah dalam merencanakan dan membuat kebijakan ekonomi yang menyangkut keadilan kehidupan masyarakat miskin sering hanya mendengarkan pendapat dari kalangan birokrasi, akademisi, maupun para pakar. Tidak pernah bertanya pada mereka yang miskin, alhasil pemerintah tidak tahu atau tidak mau tahu kebutuhan yang tepat untuk rakyatnya. Bukan tak mungkin kasus sengketa pertanahan yang memakan korban jiwa akan semakin marak dengan berlakunya Perpres ini. Dari data sebelumnya saja tercatat 1.148 kasus sengketa agraria yang tersebar di seluruh Indonesia, namun baru 154 kasus yang diselesaikan (Kompas,11/6). Tanpa perlu direvisi, sebaiknya dibatalkan saja Perpres ini. Toh!sudah terlihat jelas ini bukan untuk kepentingan umum dalam hal ini masyarakat dan semakin jelas dampaknya nanti akan seperti apa. Bagaimana Pak Presiden yang terhormat? atau Pak Menteri Ekonomi yang menyatakan untuk tidak terlalu khawatir dengan kebijakan ini?
No comments:
Post a Comment
jika mampir dan sempat membaca, silahkan sejenak berkomentar...terima kasih ^_^