03 October, 2007

belajar pada daun

Pada sebuah siang yang menyengat di bulan September, saya bertemu kembali dengan kawan lama. Seorang perempuan yang terluka jiwanya justru oleh suaminya sendiri.

Ya, dulu saya pernah bercerita tentang perempuan ini. Dialah Rini, perempuan muda yang menjadi istri seorang lelaki pengidap HIV. Celakanya, Rini baru tahu, justru setahun setelah keduanya menikah.

Kala itu saya mencoba memberinya ketabahan. Lalu saya bilang, mengapa kita tak belajar kepada daun yang tetap bermanfaat bagi kehidupan kendati ia telah rontok ke tanah.

"Daun?" tanya Rini saat itu.
"Ya, daun...," jawab saya.
"Daun..., akulah itu daun yang kini dimakan ulat, meranggas pelan-pelan sebelum akhirnya mengelinting kering," Rini putus asa.
"Semua orang juga akan kering mengelinting."
"Tapi tidak seperti aku."
"Ah, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi esok."
"Maksudmu?"
"Kenapa kita memikirkan sesuatu yang sungguh mati bukan urusan kita."
"Lantas?"
"Menjadi daun itulah maksudku. Tak soal dimakan ulat atau diserang hama lainnya, toh ketika rontok, lantas jadi humus, ia bermanfaat bagi tanah yang menumbuhkan kehidupan bagi tanaman."

Saat bertemu kembali di sebuah tempat di Jakarta Selatan, Rini pun membuka percakapan,

"Kini aku telah menjelma jadi daun."
"Daun?"
Saya yang membuat analogi, saya pula yang kemudian lupa.
"Iya, saya telah menjadi daun, seperti yang mas pernah usulkan kepada saya ketika saya putus asa bertahun-tahun lalu," ujar Rini.
"Hmm ya, daun apa yang Rini pilih?"
"Daun apa saja, sepanjang itu bermanfaat bagi kehidupan."

Saya yang belum ngeh dengan arah perbincangan di siang itu, mencoba pura-pura faham dengan materi perbincangan. Saya pun dengan gagah berani mengurai tentang daun.

"Ya..ya daun, daun merupakan salah satu organ tumbuhan yang tumbuh dari batang, umumnya berwarna hijau dan terutama berfungsi sebagai penangkap energi dari cahaya matahari melalui fotosintesis," kata saya sok tahu.
"Oh..begitu ya Mas?" Rini melongo.
"O iya..., daun juga organ terpenting bagi tumbuhan dalam melangsungkan hidupnya karena tumbuhan adalah organisme autotrof obligat, ia harus memasok kebutuhan energinya sendiri melalui konversi energi cahaya menjadi energi kimia."
"Trus mas?..."
"Bentuk daun sangat beragam, namun biasanya berupa helaian, bisa tipis atau tebal. Gambaran dua dimensi daun digunakan sebagai pembeda bagi bentuk-bentuk daun. Bentuk dasar daun membulat, dengan variasi cuping menjari atau menjadi elips dan memanjang. Bentuk ekstremnya bisa meruncing panjang."
"O...."
"Daun juga bisa bermodifikasi menjadi duri, misalnya pada kaktus, dan berakibat daun kehilangan fungsinya sebagai organ fotosintetik. Daun tumbuhan sukulen atau xerofit juga dapat mengalami peralihan fungsi menjadi organ penyimpan air. Ngerti kamu Rin?"
"Nggak."
"Kurang jelas saya menerangkannya?"
"Bukan..., bukan itu maksud saya. Saya tak butuh penjelasan tentang daun. Saya hanya mengambil filosofinya."
"Lo.., daun ada filosofinya toh?"
"Gimana sih mas ini, bukannya Mas yang menguraikan filosofi daun saat saya putus asa dulu?"
"Astaga..., ya... sekarang saya ingat. Waktu itu kita berada di lereng Gunung Salak, bukan?"
"Ya."
"Di rumah yang di sekelilingnya ditumbuhi tanaman obat?"
"Betul."
"Bagaimana rasanya menjadi daun?"
"Tenang, damai..."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena tahu bahwa daun memberi kehidupan buat pohonan, karena daun tahu suatu saat pasti akan rontok, dan daun juga tahu ketika telah jatuh ke tanah dirinya bisa bermanfaat buat kehidupan lainnya."

Kami diam sejenak. Saya tak lagi merasai matahari yang garang, jawaban Rini itulah yang membuat hati saya jadi sejuk.

"Apa kegiatanmu sekarang, Rin?"
"Bekerja bersama kawan-kawan yang peduli dengan para korban narkoba."
"Trus kamu jadi apa di sana?"
"Jadi daun."
"E...maksudku, apa tugasmu di tempatmu bekerja?"
"Ya persis seperti daun itulah. Kami mencari peluang dengan memberi proposal kepada para penyandang dana yang mau membantu kegiatan kami. Persis seperti daun yang menyerap sinar matahari sebagai energi kehidupan. Kalau sudah dapat, kami pun membuat berbagai program. Ada program pendampingan, membeli obat-obatan, mencari rujukan rumah sakit, dan seterusnya."
"Syukurlah."
"Ya, saya juga bersyukur pernah ketemu Mas dulu. Kalau tidak..."
"Kalau tidak kenapa?"
"Saya mungkin tidak memilih jadi daun, tapi jadi petani daun ganja."
"Hus, ngawur."
"Becanda, Mas."
"Eh, omong-omong..., bagaimana kondisi suamimu?"
"Dia bekerjasama dengan saya juga sebagai tim pendamping korban narkoba."
"Kamu sendiri kondisi kesehatanmu bagaimana sekarang?"
"Saya sudah tak memikirkan diri saya lagi. Mungkin lantaran saya tak memikirkan diri saya sendiri yang justru membuat saya jadi lebih kuat."

Ah, inilah rupanya salah satu rahasia para pekerja sosial macam Rini. Mereka kuat secara fisik dan mental justru lantaran lebih banyak memikirkan orang lain daripada memikirkan dirinya. Bukankah para Nabi, para Wali, dan juga para orang suci juga berbuat hal sama, mereka lebih banyak memikirkan orang lain ketimbang dirinya sendiri?

"Rin.."
"Ya, Mas."
"Kamu hebat."
"Ah, biasa aja kok Mas. Saya hanya selembar daun aja."

Tak terasa, matahari telah ngeloyor ke barat. Lampu-lampu di jalan sudah mulai menyala. Saya pun pamit kepada Rini.

"Sampai ketemu ya Rin."
"Ok, Mas."
"Jaga dirimu bak-baik."
"Ya. Mas. O iya Mas, nanti, suatu ketika, saat daun ini menjadi kuning dan gugur ke bumi, kenanglah selalu aku ya Mas."

Saya hanya menjawab dengan senyuman getir. Tak terasa, air di mata saya menggenang. Saya cuma kuasa mengangguk saja, sembari berucap dalam hati.
"Pasti Rin, pasti."

Cerita menarik ini saya dapat dari seorang teman, semoga bermanfaat.
Sumbernya dari sini :
jodhi@kompas.com
Bisa juga dilihat disini :
Belajar pada Daun
http://kompas.com/ver1/Negeriku/0710/01/052006.htm

No comments:

Post a Comment

jika mampir dan sempat membaca, silahkan sejenak berkomentar...terima kasih ^_^