-sekedar reportase si pemula-
“aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada”
Membeli tiket masuk dan dapat kursi di sayap sebelah kiri
Sekitar awal februari saya melihat spanduk bertuliskan judul itu, spanduk ungu yang ditimpa huruf-huruf berwarna merah dan kuning. Mungkin saja ada kaitannya dengan bulan februari yang beberapa orang menganggap bulan kasih sayang, bahkan menjadikan tanggal 14 sebagai hari kasih sayang. Bagi saya pribadi tidaklah terlalu penting waktu yang ditetapkan untuk berkasih sayang, karena setiap detik menit waktu jam hari bulan tahun hingga dikubur akan selalu ada pancaran kasih sayang. Tapi sungguh, sekali lagi teman-teman di TIM pandai mensinergikan momen dengan waktu-waktu tertentu. Ini pasar bung! Seperti halnya bulan ini penjualan bunga dan cokelat meningkat.
Tadinya ingin langsung pulang ke rumah, tetapi setelah sejenak membuka milis blogger makassar rencana pun berubah. Hari Jum’at ada kopdar dan beberapa orang telah menyepakati untuk ikut, termasuk saya. Pikirku, sekalian saja bertemu deen lalu janjian sorenya untuk menemani saya nonton di Blitz Megaplex Plaza Pasific (unfortunately gagal). Saya dapat dua buah voucher nonton gratis.
Tepatnya pukul 5 jam ngantor saya usai, satu deadline saya sudah kelar. Saya memutuskan lagi berjalan kaki melewati komplek perumahan Menteng, termasuk melewati rumah Aburizal Bakrie (si orang terkaya versi Forbes yang fotonya juga terpampang ditengah-tengah bundaran HI bertajuk Visit Indonesia Year,penting nggak sih?). Rumah luas dan asri dikelilingi pagar tinggi berwarna hitam ditutupi pohon flamboyant dan crysant merambat mengelilinginya dengan rapat, dimana kadang-kadang ketika saya lewat pantulan air kolam renangnya sampai ke retina. Sesekali ada dua orang bermain catur di depan pagar mengambil posisi di sudut persimpangan komplek.
Setiba di perempatan lampu merah Cik Ditiro, saya cukup lama menunggu metromini P 17 muncul. Rintik hujan mulai tak bersahabat, saya tak suka membawa payung, sederas apapun hujan itu. Lebih baik berteduh dan menatapnya dengan senyum sambil menikmati kecupan-kecupan kecilnya di tubuh. Kali ini tak sempat ke halte, jangkauannya terlalu jauh hingga mungkin akan membuatku kuyup. Saya memilih berteduh di bawah pohon beringin yang entah sudah berapa tahun atau bahkan puluh tahun umurnya. Mungkin karena terlalu terbawa suasana, saya lupa bahwa jumat sore minggu lalu hujan dan angin banyak menumbangkan pohon-pohon di sekitar Jakarta dan Bekasi. Sekedar info di sebuah harian ibukota jumlahnya bahkan hingga seratus. Jakarta makin ngeri saja!
Hampir jam 6 saya baru tiba di TIM, masih gerimis tapi angin kencang selalu membuat saya takut. Singgah lah saya di kedai makanan di depan TIM yang menyediakan beragam roti bakar plus wedang jahe. Roti bakar cokelat keju ditemani wedang jahe hangat menjadi menu camilan saya sore itu. Setelah perut kenyang, saya langsung menuju loket Graha Bhakti Budaya untuk membeli tiket, saya ambil yang harganya 30.000 rupiah. Selepas membeli tiket saya langsung berjalan menuju masjid yang tepat berada di belakang gedung, untuk menuju kesana harus melalui gang kecil di sebelah toko buku tua favorit saya. Usai shalat maghrib, saya langsung menuju Bengkel Buku Udin, itu loh toko buku tua yang membuat saya betah berlama-lama. Di situ saya sempat ngobrol sekitar setengah jam sambil menunjukkan sebuah cerpen seorang teman yang muncul di majalah sastra ”imajio”.
Seusai mengisi daftar buku tamu,
penjaganya memberikan 2 lembar sticker lucu ini
plus majalah CHIC edisi Januari
Acara ini baru dimulai pukul 20.15 WIB, molor 15 menit dari jadwal. Saya bertukar posisi kursi dengan Pak Budi yang malam itu datang ke acara dengan tujuan menikmati puisi-puisi Sapardi yang dia sukai karena dimusikalisasi oleh duet Ari-Reda, sekaligus menyaksikan anaknya tampil sebagai salah satu anggota paduan suara GSN Choir. Acara dibuka dengan penampilan dari Teater Tanah Air, teater ini didirikan sejak 14 September 1988 oleh Jose Rizal Manua yang juga menjadi penanggung jawab acara. Malam itu membawakan karya Sapardi Djoko Damono secara teatrikal yang berjudul “Selamat Pagi Indonesia”. Diawali dengan segerombolan anak-anak berseragam Sekolah Dasar (SD) masuk ke panggung berbaris menyamping. Balutan seragam putih celana/rok merah selutut lengkap dengan dasi topi sepatu dan kaos kaki, sungguh sangat rapih. Dua orang maju, yang lainnya mundur. Kedua gadis cilik itu tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk-nunjuk, yang lain wajahnya terlihat bingung. Lalu mereka kembali membentuk barisan, dengan kompaknya pelan-pelan mulai membacakan bait-bait puisi milik Sapardi. Saya suka ketika mereka menutup teater dengan dua baris terakhir puisi: “selamat pagi Indonesiaku, terasa benar aku tak lain milikmu”. Rasanya langsung tergetar, melihat lakon mereka. Begitu kesan yang didapat ketika menonton pertunjukan teater yang sudah beberapa kali menoreh prestasi di kancah nasional maupun internasional ini. Di tahun 2004, mereka meraih medali emas pada The Asia Pasific Festival of Children Theatre di Toyama, Jepang. Dua tahun kemudian mencetak prestasi lagi dengan memborong penghargaan sebanyak 14 kategori pada 9th World Festival of Children Theatre di Lingen, Jerman. Suatu prestasi yang tidak biasa. Diawal sebelum penampilannya sang MC mengumumkan bahwa mereka sedang berlatih untuk persiapan Festival Teater di Rusia.
Acara selanjutnya diisi dengan Lab.Musik 59 Jakarta, saya sangat suka apa yang mereka sajikan. Sebuah pertunjukan musikalisasi puisi ensemble flute yang dibawakan oleh siswa siswi SDN Pekayon 10 Pagi dan SMPN 179 Kalisari, Jakarta Timur. Beberapa menit kemudian dibacalah kedua puisi Sapardi berjudul “Akulah Si Telinga” dan “Metamorfosis” diiringi alunan musik instrumen yang mereka mainkan. Indah sekali, saya sungguh menghayati.hehe... Konon sejarahnya kelompok ini dulu hanya kegiatan ekstrakurikuler di SMA 59 Jakarta dengan nama Tosmik 59.
Setelah menikmati musikalisasi puisi dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh Ine Febriyanti, seorang artis muda yang hobi olah raga dan menggemari dunia teater. Malam itu dengan perutnya yang sedang hamil tua mengenakan baju hamil hitam dengan selendang kuning dipadu celana blue jeans, dia membawakan puisi Sapardi yang berjudul "Pada Suatu Hari Nanti" dan "Kau Boleh". Acara lalu dilanjutkan dengan penampilan paduan suara persembahan Gita Swara Nassa Choir (Sekolah Nasional I, Pondok Gede) yang membawakan tiga lagu.
Kemudian acara dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh A.G.S Arya Dipayana (dua puisi: "Dongeng Kucing" dan "Pertanyaan Kerikil Goblok"), lalu oleh Jose Rizal Manua yang pada malam itu mengenakan baju kemeja hijau dipadu dengan celana hitam lebar dan blankon di kepalanya membacakan puisi Sapardi yang menggelitik berjudul Iklan dan Tuan. Puncak acara akhirnya majulah ke depan panggung Sapardi Djoko Damono mengenakan kaos hitam dipadu stelan blazer abu-abu muda, sepatu putih dan topi baret hitam. Dia membacakan "Hujan Dalam Komposisi". Sejak awal ingin memasuki panggung juga ketika mengakhiri pembacaan sebuah puisi tepuk tangan bergemuruh di seisi ruangan Graha Bhakti Budaya.
Jam menunjukkan pukul 21.30, saya sudah mulai khawatir akan pulang terlalu larut dan cemas akan dikhawatirkan Ibu dirumah secara telepon genggam saya sejak permulaan acara mati karena lowbat. Hingga pukul 22.00 WIB saya memutuskan untuk pulang, setelah menyaksikan teater persembahan Teater Tetas dan musikalisasi puisi [lagi] oleh duet Ari-Reda dengan judul "Ketika Berhenti Disini". Akhir yang indah, meskipun tak sempat menyaksikan pembacaan puisi "Aku Ingin" yang kutipannya saya tulis di awal tulisan ini.
Ps: maaf, hanya kedua foto ini yang sempat dijadikan oleh-oleh.
Terima kasih sudah datang, meski hari hujan.
ReplyDeleteSemoga lewat acara ini jadi semakin cinta puisi.
Selalu,
Reda
Kembali kasih, karena hujan itulah saya datang. Hujan dan puisi, perpaduan yang apik, terlebih dibacakan suara yg merdu plus gitar akustik duet Ari-Reda.
ReplyDeletethanks dah mampir :)