28 February, 2008

UNHASku sayang, UNHASku malang

Kita selalu mendengar jargon atmosfer akademik yang dielu-elukan oleh sebuah entitas pendidikan tak terkecuali di Unhas. Secara epistimologis atmosfer akademik terdiri atas dua suku kata, atmosphere yang berarti kondisi global lingkungan , dan academic berarti pendidikan atau proses belajar mengajar. Secara keseluruhan penekanan jargon ini adalah pada kondisi ideal seperti bagaimana yang dimaksudkan. Pengertian akademik itu sendiri jika dilihat dari latar belakang terminologis adalah sebuah keadaan dimana orang-orang bisa menyampaikan dan menerima gagasan, pemikiran, dan atau ilmu pengetahuan sekaligus melakukan pengujian terhadapnya secara jujur, terbuka, dan leluasa.

Selanjutnya jika atmosfer akademik tumbuh maka kemudian akan berkembang menjadi kultur akademik, hal ini ditandai dengan tumbuhnya minat baca yang tinggi, tradisi berdiskusi dan berbeda pendapat, kreativitas menulis, serta proses belajar mengajar yang kondusif. Namun jika kita lihat, sampai hari ini realitas di lingkungan Unhas berkata lain. Setiap civitas academia di lingkungan Unhas sibuk dengan kegiatannya masing-masing, masih jarang terlihat forum-forum diskusi bahkan dalam lembaga mahasiswa itu sendiri yang notabene seharusnya menjadi wadah dan mediasi terbentuknya kultur akademik, berangkat dari pengalaman jika pun ada kurang diminati. Di fakultas ekonomi tempat saya menjalani kuliah, jarang terlihat mahasiswa membaca. Hal ini cukup menunjukkan bahwa minat baca di kalangan mahasiswa dan tak jarang juga dosen masih sangat kurang (meski hanya berdasarkan pengamatan yang terbatas). Kita lebih sering melihat mahasiswa bermain domino di beberapa sudut fakultas. Belum lagi minat dan budaya menulis yang rendah di kalangan dosen dan mahasiswa, jika kita mau bertanya sudah berapa guru besar, doctor, dan magister yang menghasilkan pemikiran mereka dalam dunia tulis menulis (termasuk saya, hehehe...). Jawabannya masih terhitung jari, dan selebihnya hanya orang-orang yang bergerak pada tataran praktis. Memang hal ini menjadi sebuah ironi bagi Unhas yang begitu renta seiring usia, namun masih kurang bijak untuk lebih maju.

Berbicara mengenai proses belajar mengajar, masih ada persepsi yang salah yang selama ini terbentuk dari sistem pendidikan dan ini masih tertanam di lingkungan Unhas. Mahasiswa cenderung dijadikan objek dan dosen itu sendiri adalah subjek, dengan kata lain selalu ada anggapan bahwa dosen yang lebih tahu dan mahasiswa yang tidak tahu apa-apa, hal ini sangat menghambat terbentuknya kesadaran kritis pada diri mahasiswa. Analoginya bahwa mahasiswa seperti halnya botol kosong yang harus diisi. Padahal dalam tataran ideal, sepatutnyalah hubungan dosen dan mahasiswa adalah hubungan akademik dan hal ini ditandai terjadinya proses dialogis dalam belajar mengajar. Sekali lagi realitas di Unhas jauh dari sisi idealnya sebuah pendidikan, masih banyak dosen Unhas yang lebih mengedepankan tendensi emosional pribadi dan menyajikan proses transformasi ilmu pengetahuan secara monolog dictatorial.

Sebagai salah satu Universitas yang menjadi center di Indonesia Timur, Unhas banyak menghadapi berbagai masalah. Sebut saja birokrasi fakultas yang tak jarang menghambat civitas academia dalam berkreasi, manajemen administrasi pengelolaan fakultas yang masih terkesan lamban dan amburadul, masih adanya beberapa materi kuliah yang tidak lagi kompeten karena masih menggunakan literatur-literatur usang, kualitas SDM yang masih belum memadai baik itu dosen maupun pegawai fakultas, sistem rekruitmen dosen yang tak jelas apakah benar-benar memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan pengajaran, kurangnya koordinasi antar elemen yang ada di Unhas untuk menghasilkan keputusan-keputusan terbaik bagi kemajuan masing-masing fakultas, kurangnya ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai untuk menunjang proses belajar mengajar ( seperti : perpustakaan, laboratorium, Mushalla, WC, dan kamar mandi), dan yang tak kalah mengherankan adalah sebagian besar lulusan Unhas yang masih belum mampu berkompetensi di dunia profesional.

Semua hal itu sudah selayaknya diatasi, karena hal itu mencakup berbagai aspek dan elemen yang tentu saja mempengaruhi bahkan menghambat tumbuhnya atmosfer akademik. Jika dibiarkan , Unhas akan terus hanya merangkak untuk lebih maju dan menciptakan kultur akademik yang diidam-idamkan oleh semua entitas pendidikan di Indonesia.

Ditengah derasnya arus globalisasi, Unhas mau tidak mau harus siap untuk berkompetisi dalam meningkatkan mutu pendidikan yang bertujuan menjadikan insan-insan yang didalamnya bukan sekedar robot-robot yang siap pakai, namun menjadikannya manusia seutuhnya melalui proses belajar. Ya! Menjadi manusia pembelajar. Melahirkan kaum intelektual seperti yang didefinisikan oleh pakar pendidikan J.Drost, yaitu orang yang berkat pendidikan dan pengalamannya ia mampu menerima pengalaman hidup, ia bebas bergaul kepada siapa saja namun tetap memiliki etika moral, menghormati orang yang mempunyai kedudukan tinggi tapi tak kalah hormat dengan orang yang berkedudukan rendah. Tidak fanatik dengan sesuatu apapun, tidak mengejar pengukuhan diri, tidak punya dendam kepada siapapun dan berani mengakui kesalahannya bila dia memang keliru.

Adapun sebagai solusi awal atas pemecahan segala permasalahan yang ada dapat berupa : perbaikan sistem pendidikan yang tidak lagi menerapkan sistem monolog dictatorial namun lebih mengedepankan sistem dialogis. Selanjutnya membangun iklim keterbukaan antar elemen di lingkungan Unhas, hal ini terkait dengan transparansi kebijakan untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang aspiratif dan sesuai dengan kebutuhan kolektif. Yang juga tak kalah penting adalah menumbuhkan atmosfer akademik yang menunjang, seperti : pengadaan beragam jenis buku di perpustakaan serta fasilitas perpustakaan yang lengkap dan nyaman, pengadaan laboratorium komputer yang memadai dan mudah untuk diakses beserta rutinnya pengadaan pelatihan-pelatihan komputer didalamnya baik untuk mahasiswa maupun para pegawai Unhas. Untuk peningkatan kualitas dan kinerja pegawai selain sistem rekruitmen yang diperbaiki, pihak kampus tak cukup hanya menyediakan sarana dan prasarana saja, yang tak kalah penting adalah memberikan mereka pelatihan ataupun kursus-kursus yang bermanfaat bagi peningkatan kinerja administratif. Hal ini bisa dalam bentuk : pelatihan dan kursus komputer, pelatihan administrasi perkantoran, pelatihan dan kursus bahasa Inggris, dan sebagainya. Jadi, pegawai juga mempunyai hak untuk maju seperti halnya elemen-elemen lain yang ada di Unhas, sehingga semuanya dapat berjalan dengan sinergis. Sedangkan untuk mengatasi masalah rendahnya kualitas dosen, ada baiknya sistem rekruitmen dosen diperbaiki agar orang-orang yang terpilih lebih memilki kompetensi sesuai kebutuhan pengajaran. Hal ini bisa dilakukan penambahan seleksi dalam bentuk tes micro teaching agar dapat dilihat kemampuannya dalam mentransformasi ilmu pengetahuan sesuai dengan bidangnya. Selain itu para dosen juga diberikan kesempatan untuk mengikuti pelatihan-pelatihan, penelitian, tugas belajar dan mendapatkan rekomendasi beasiswa bagi yang berprestasi. Tentu saja hal ini sepatunya tidak membuat para dosen mengesampingkan tugas pokok dan tanggung jawabnya yaitu mengajar. Lalu mewajibkan mereka untuk memberikan sumbangsih pemikiran dalam bentuk tulisan. Agar lebih efektif, sebaiknya pihak kampus menetapkan aturan yang tegas bagi dosen yang tidak disiplin dan mengabaikan tanggung jawabnya dalam kegiatan belajar mengajar, jadi aturan tidak hanya diberikan kepada mahasiswa. Tentu saja hal ini semata-mata untuk menunjang sinergitas dalam proses belajar mengajar agar terciptanya atmosfer akademik yang lebih baik.

Kemudian , satu hal yang selama ini menjadi pertanyaan di kalangan civitas academia Unhas adalah transparansi proses akuntabilitas dan audit kinerja fakultas maupun kampus. Selama ini tidak ada kejelasan dari pihak akademik mengenai anggaran dan alokasi dana, padahal sebagai bagian dari elemen fakultas (stakeholder), mahasiswa bisa saja meminta kejelasan dana yang dipergunakan mengingat kampus besar karena uang publik. Seperti alokasi dana SPP, dana KKN Profesi, dana BSS, dana wisuda, dan sebagainya. Sebagai kampus yang menjunjung good governance dan telah diterapkannya otonomi fakultas (hampir juga otonomi kampus) untuk mengelola dan menentukan kebijakan sendiri hal ini sepatutnya bukanlah menjadi masalah kan?.

Terakhir yang tak kalah penting, untuk meningkatkan kompetensi lulusan Unhas di kancah profesi sebaiknya pihak kampus lebih memperkuat jaringan antar alumni. Terkait dengan rekomendasi pihak Unhas atas lulusan-lulusan yang kompeten kepada para alumni yang telah menempati posisi strategis di beberapa perusahaan. Kebijakan ini telah dilakukan di Universitas Indonesia, dengan mengandalkan jaringan yang kuat dan memadai lulusan mereka dapat bersaing. Tentunya pihak fakultas hanya memeberikan rekomendasi, selebihnya lulusan-lulusan tersebut yang harus melalui proses kualifikasi yang ditentukan oleh perusahaan atau institusi-institusi lain.

Mudah-mudahan seiring bertambahnya usia, Unhas lebih mau dan mampu memperbaiki diri. Bisa jadi hal-hal inilah yang menjadi akar permasalahan tawuran di Unhas yang seolah-olah telah menjadi tradisi. Jangan hanya menyerah pada keadaan dan menyalahkan sistem pendidikan yang selama ini terbentuk, yang paling penting adalah semua elemen sama-sama aktif membangun kembali komunikasi dan sistem belajar mengajar yang kondusif untuk kemajuan bersama. Ini memang tidak mudah, tapi bukankah tidak ada sesuatu yang mustahil jika ada kemauan dan kemampuan?

Ah! tak tahu lah! saya semakin sok tahu saja.

salam,

*Penulis adalah alumni Fakultas Ekonomi-Unhas, setelah kecewa untuk kesekian kalinya menyaksikan tawuran di Unhas. Pernah hampir jadi korban sewaktu tawuran di pertengahan tahun 2002. Penting nggak seh???


1 comment:

  1. wahh..ganti lagi??nda ada shoutboxnya,jd numpang isi disini.mampir ka malam2 tante..:)

    ReplyDelete

jika mampir dan sempat membaca, silahkan sejenak berkomentar...terima kasih ^_^