"When you really want something to happen, the whole universe conspires so that your wish comes true." [The Alchemist]
30 December, 2007
puisi Cak Nun
Tuhanku,
aku berguru kepadaMu
ajarilah bagaimana mendengarkan batu
membaca suara
menggenggam angin yang bisu
Tuhanku,
kedunguan memberiku pengertian
buta mata menganugerahi penglihatan
kelemahan menyimpan berlimpah kekuatan
jika aku tahu
terasa betapa tak tahu
waktu melihat
betapa penuh rahasia gelap
yang dikandung cahaya
Tuhanku, aku berguru kepadaMu
tak tidur di kereta waktu
lebur dalam ruang
karena setiap satu mengandung seribu
berguru kepadaMu
Tuhanku,
kuragukan setiap yang kutemu
kutimba ilmu dari yang paling dungu
20
Tuhanku,
aku berguru kepadaMu
gelap dan terang saling menegaskan
garis batasnya memusnahkan jaraknya
pada pertentangannya memancarkan kesatuannya
[puisi Cak Nun, yg dicomot dr majalah Horison edisi Desember 2007]
Kupersembahkan untuk mereka yang dalam perjalanannya mencari, tanpa harus menyakiti yang lain, tanpa harus menganggap diri yang paling benar, tanpa harus menegasikan apapun, sebab masih ada cara yang lebih baik untuk saling mengerti dan memahami.
berdialog lah, meski dengan dirimu sendiri.
26 December, 2007
speechless
ehmmm...
tak ada yang bisa kusampaikan
selain kalimat:
"nantilah, kupikirkan dahulu"
terlalu banyak pertimbangan
pusing!!!
19 December, 2007
cerita sahabat dari Malaysia [true story]
Dia mengirimkan tulisannya yang berisi pengalamannya yang dikirimkan ke surat pembaca di salah satu media Malaysia bernama Utusan Malaysia.
ini adalah penggalan e-mail yang dia kirimkan ke saya mengenai pengalamannya, memang cenderung emosional, tetapi beginilah salah satu realitas yang ada.
Teman-teman, Pada 12 Desember saya diusir dari taksi dan dihina, dicaci maki di tengah jalan oleh sopir taksi tanpa alasan yang jelas. Ini sekedar luapan emosi melalui tulisan, cerita tentang sebuah penghinaan. Kalau ada tulisan yang sudah pernah saya kirimkan, saya kirimkan kembali sebagai sebuah rangkaian yang pernah saya tulis. Kejadian kemarin kembali mengingatkan seluruh cerita pahit saya hidup di Malaysia. Namun kemarin adalah yang terpahit(kalo di masa depan ada lagi saya gak tau ya), tapi kejadia dihina dicaci maki tanpa alasan hanya karena saya orang Indonesia menjadi goresan abadi di memori hidup saya. Satu tulisan lagi jawaban saya terhadap surat pembaca yang dimuat di Utusan Malaysia pada 11 Desember 2007, dari seorang pelajar Malaysia di Indonesia, yang mengeluhkan berita - berita tentang Malaysia di media-media Indonesia. Dia sempat mengungkapkan bahwa Malaysia telah banyak memberikan kehidupan bagi WNI dan Indonesia telah banyak hutang budi. Dia juga menuliskan bahwa Malaysia berhak mengusir pendatang ilegal. Masalahnya bukan berhak atau tidak, namun cara mereka mengusir itu yang kita permasalahkan.
Dan kalau mau baca, tiga tulisan ini adalah pengalamannya selama di Malaysia.
[1] Bukan Gairah Hentam Malaysia, Kami Membuat Reaksi
Membaca surat pembaca dari Masnorman, yang menimba ilmu di Jakarta, saya paham betul apa yang ia rasakan. Merasa sakit hati ketika negaranya dihina di media-media di Indonesia. Sayapun begitu, sejak setahun yang lalu saya berada di Malaysia, saya membaca media-media Malaysia tentang Indonesia, bukan main sakit hatinya. Dengan sebutan “Indon Pembunuh”, “Indon Pelacur”, “Indon Bawa Penyakit”, dan segala sesuatu busuk dan buruk tentang “Indon”. Dan bukan itu saja, selama saya setahun berada disini, bukan cuma tempaan hina dari media di Malaysia. Melainkan juga masyarakat sekitar, terutama sopir taksi di Malaysia. Saya kecewa mengapa negara yang begitu maju ekonominya, bisa begitu terbelakang pemikiran dan budayanya.
Salah satu pekerjaan saya adalah mengkliping koran, jadi hari demi hari semenjak setahun yang lalu harus saya telan bulat-bulat berita hinaan tentang Indonesia, jadi untuk Masnorman saya rasa saya tahu apa yang anda rasakan. Untuk informasi, saya bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kuala Lumpur bagian pendidikan. Maka apabila Masnorman pergi belajar ke Indonesia sejak tahun lalu, maka pastilah pernah bertemu dengan saya. Saya tidak memiliki masalah personal dengan warganegara Malaysia. Saya juga tidak suka menghina dan saya tahu bukan budaya kami menghina. Seluruh dunia tahu bahwa orang Indonesia itu ramah, bahkan karena terlalu ramah dan sopan mudah sekali untuk dinjak-injak. Kami sangat mudah untuk memaafkan dan menyayangi.
Untuk Masnorman, percayalah, media di Indonesia lebih suka mengkritik pemerintahan Indonesia, mengkritik sosial budaya demi membangun masyarakat. Di Indonesia minat baca masih rendah, warganegara kami yang suka membaca lebih menyukai bacaan sosial politik masalah nasional. Maka bukan tidak ada sebab media-media di Indonesia memberitakan tentang Malaysia. Ini hanya balasan reaksi dari apa yang kami terima. Cobalah Masnorman kembali mengingat apa yang media-media di Malaysia telah beritakan tentang Indonesia selama setahun kebelakang. Sebelum media-media di Indonesia mengungkap tentang masalah Indonesia-Malaysia. Cukup arifkah media di Malaysia? Kalau Masnorman mau berbijaksana, cobalah Masnorman mengerti dan memberi pengertian pada sesama warga Malaysia, bahwa kalau di Indonesia media-media bukan mengentam dan menghina. Mereka hanya bereaksi.
Masnorman, pernahkah Masnorman dicaci maki karena Masnorman orang Malaysia ketika berada di Indonesia? Saya pernah dicaci maki oleh sopir taksi di Malaysia, bahkan diusir dari taksi itu, serta diteriaki “Indon Bustard, Criminals, Crazy”, tanpa alasan yang jelas. Apa rasanya Masnorman bila diperlakukan seperti itu tanpa sebab. Apabila Masnorman mau percaya atau tidak, itu adalah pilihan Masnorman, tapi jika ingin ada kedamaian, hati kita juga harus bijak dan berlapang dada, jika kita salah kita harus mengakui dan meminta maaf.
Kalau ada dari warganegara Indonesia yang memang berbuat salah, dengan lapang dada saya memohon maaf. Jangan menganggap bahwa kami sebagai warga negara Indonesai banyak berhutang. Kami bekerja, jadi Malaysia juga mendapatkan jeri payah kami, itu dinamakan simbiosis mutiualisme, bukan hutang budi. Kalau tidak memerlukan tenaga dari Indonesia, dengan senang hati saya mendukung larangan tenaga kerja Indonesia datang ke Malaysia.
[2] Kami Bukan “Indon”
Bekerja dan hidup di
Ingin saya menceritakan pegalaman terpahit dari semua pengalaman pahit yang pernah saya alami. Kejadian ini terjadi pada pukul tujuh malam, hari Rabu tepatnya tanggal 12 Desember 2007. Hari itu saya merasa sudah cukup letih dan memutuskan untuk pulang meskipun sedang hujan.
Keluar dari gerbang Kedutaan KBRI Kuala Lumpur, kami, saya dan teman saya menunggu taksi. Kami tahu ini akan memakan waktu lama. Hanya sekedar informasi, kalau cuaca bagus dan masih relatif sore mencari taksi susahnya bukan main, apalagi hujan dan sudah malam.
Hingga beberapa puluh menit kedepan, ada taksi yang berhenti, saya merasa sangat bersyukur. Karena melipat payung terlebih dahulu, saya pikir akan sedikit memakan waktu, maka ketika masuk taksi saya mengucapkan “maaf yah” pada sopir taksi, standar orang Indonesia dalam bersopan santun.
Beberapa detik setelah siap dan menuju tempat tujuan, sopir itu bertanya “you Indon ke?”, saya jawab “
Kemudian dia menyusul makiannya dengan berkata, “I am a muslim I am scared of nothing, you indon did wrong, you scared people afraid to know you are indon”, dengan nada emosi dan bingung teman saya mulai melawan, “no..we aren’t scared of nothing, we are
Setelah saya balik duduk di posisi menyender, kembali dia berucap “you indon all crazy, criminals, get out of here, it’s free for you indon, get off ” dan mengucapkan itu berulang kali. Kami pun langsung turun, meskipun hujan dan sedang macet, taksi yang kami tumpangi berada di tengah-tengah jalan.
Cerita makian itu tidak berhenti sampai kami turun. Setelah kami ke pinggir sambil merasa shock, dia keluar dari taksi, berteriak-teriak ditengah jalan, “you indon bustard, you wont pay, you all criminals,” sampai-sampai semua orang dalam mobil yang sedang sesak dan macet itupun melihat ke arah kita.
Hanya informasi, bahwa argo di taksi itu hanya baru RM 2 lebih beberapa sen, karena kami baru sampai berjalan sekitar 200 meter. Membuka pintu taksi di
Mengapa sulit sekali bagi mereka (saya tidak menyebut seluruhnya, namun mayoritas orang
Bekerja di Instansi ini membuat saya melihat lebih jelas segala ketidakadilan yang dialami oleh WNI,. Walaupun begitu, saya berusaha membuat perbedaan dengan apa yang saya lihat dari nasib orang-orang
Nyatanya, saya sendiri ketika saya menginjakan kaki sejak keluar dari KBRI Kuala Lumpur, hinaan dan tawaan yang bernada merendahkan seringkali saya alami sebagai seorang warga negara
Kami bukan “Indon”, kami
[3] TAK KENAL MAKA TAK BENCI
Biasanya, saya sering denger kata-kata, tak kenal maka tak sayang, karena sesuatu yang layak untuk disayang kadang-kadang tidak tereksplore karena tak dikenal. Begitu juga sebaliknya, menurut saya, kadang-kadang sesuatu yang patut dibenci tidak dibenci karena tidak dikenali. Maksudnya adalah, kalo nggak cukup kenal maka pasti nggak benci deh. Begini ceritanya...
11Juli 2006, pertama kali saya datang ke
14 Agustus 2006, Senangnya balik lagi ke Malaysia untuk bekerja. Saya yakin hidup akan menyenangkan disini. Negara tetangga, ras serumpun, kota yang relatif rapih dan bersih, begitu menyenangkan dalam angan-angan dan harapan saya!!!
Kenyataan... ternyata kenyataannya jauh dari bayangan yang ada di benak saya. Hari demi hari saya makin mengenal negara ini,
Hal lainnya adalah Stereotiping orang INDON. Sudah 1000juta kali percakapan dengan orang
Tulisan ini bukan untuk menyebarkan kebencian, tapi sekedar black campaign untuk orang-orang
Saya ingin menceritakan banyaknya perlakuan ketidakadilan dan hal-hal yang sangat merendahkan oleh rakyat
Pemerintahnya pun, melalui sensor media (berita-berita yang dikontrol pemerintah di
Selain itu rakyat kita yang datang pada tahun 60-an untuk membantu
Hmm saya rasanya belum cukup menceritakan hal-hal lainnya, yang jelas, kenali dululah sebelum memutuskan sayang, atau benci, suka atau tidak. Kalo hanya jalan-jalan, sekali-sekali datang, hanya tinggal di singapur atau tinggal di
apa yang kau baca akhir-akhir ini?
bukan..bukan buku Milan Kundera yang baru saja diterjemahkan, lalu kutuntaskan beberapa malam saja. dengan isinya yang imajinatif dan erotis seperti yang pernah dipaparkan Freud dalam Psikoanalisanya.
bukan..bukan deadline pekerjaan yang mulai membosankan untuk dijamah tapi tetap saja membuatku penasaran untuk menyelesaikan.
bukan pula huruf-huruf yang membentuk kalimat di jalan-jalan, kendaraan dan segala materi yang tampak.
aku yakin kau masih ingat bahwa segala sesuatu yang absurd selalu saja membuatku senang membacanya, berkelakar dengannya tentang kehidupan di alam pikiran, yaa yang kubaca akhir-akhir ini kamu hidupku. membaca realitas dalam dimensi absurditas (bahasa apa pula ini!)
sketsamu selalu nampak dalam samar. aku mendengar dan kau terus menerus mengakar dalam jiwaku seperti pohon beringin yang tegak berdiri meneduh dengan daun-daunnya yang satu per satu luluh makin menyuburkan tanah pijakannya.
ada dia yang memanggil-manggilku untuk melengkapi rusuknya yang masih rapuh. tapi aku belum mampu menguasai bahasa-bahasa kalbu, lalu tenggelam lah aku dalam keliru.
kau aku masih saja dalam ketakutan yang sama, bualan-bualan tentang dunia yang tampak belum waktunya bersahabat dengan kita. tapi tenang saja, aku masih tetap menyukai kesederhanaanmu, mengagumi kerendah hatianmu, tentu saja mencintai tawamu mendengarkan gurauan dan kekonyolanku dengan segala kesabaranmu.
17 December, 2007
percakapan malam
konon ada dua orang sahabat bercakap-cakap mencari pegangan, semangat dan harapan tatkala angin menggoyahkan jiwa mereka perlahan-lahan pada tiga malam.
orang tidak dapat terus menerus hidup di bawah kolong langit. kau harus cari tempat pulang dan tempat dimana pemberian dapat diberikan dan segalanya dapat dimulai. take care, hev nais drim =)
hitam:
di luar kolong langit sudah tak ada dimensi, tak ada lagi ruang. di luar kolong langitlah tempat menerima yang sudah kita berikan. justru dari bawah kolong langit segala sesuatu dimulai , hingga berujung pada sesuatu yang kabarnya bersemayam di atas kolong langit itu.
biru:
masih berfilosofi padi rupanya. tak ada dimensi atau ruang, mungkin karena diri sendiri yang membuatnya seperti itu. atau juga mungkin karena kurangnya kesadaran atas realitas, sampai hanya berkutat pada titik-titik, tak kemana-mana. tak tau lah! masing2 kita kan menemukan jalan itu. pada akhirnya memebentuk bertemu dalam kebaikan sesama. masih boleh kah merindumu? =)
hitam:
jangan kau dzalimi jiwamu dengan mencoba merindukanku. karena jiwamu hanya merindukan seseorang yang rindu atas cinta sejatiNya. jangan pula kau tipu jiwaku dengan menyebutku sebagai pencari cintaNya, karena jiwa ini terlalu kotor meskipun hanya sekedar berharap setetes cinta sejati dariNya.
biru:
jangan memakai trik kamuflase. sebab jiwa hanya bisa dideteksi dengan rasa. baruka sampe, bertemu tetangga yang menyangka saya lembur kerja =) salam..
hari ini aku menuntaskan sebuah buku dan menyimpan beberapa paragraf penuh makna ini:"orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. mereka yang tak dipahami oleh lingkungannya. terperangkap dalam kegelapan itu. semakin cerdas semakin terkucil, semakin aneh mereka. mereka biasa disebut orang-orang sulit, mereka berteriak putus asa memohon pengertian.ditambah sedikit saja dengan sikap introvert, maka orang-orang seperti itu tak jarang berakhir di sebuah kamar dengan perabot berwarna teduh dan musik klasik yang terdengar lamat-lamatsebagai ruang terapi kejiwaan. mereka memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan kembali bahwa dibalik sebuah jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru. mereka gamang akibat dari sebuah jawaban". rasanya ingin membawakan tuh buku ke hadapanmu, menunggumu membacanya dan bilang " bagaimana menurutmu" =)
hitam:
mungkin saya hanya bakalan bilang, kalau saya tepatnya berada di tempat yang terang benderang.
biru:
yah, klo begitu sama lah..sampe cahayanya benar2 berada di atas kepalaku dan berkutat2 disitu. ditambah lagi ketakutanku akan gelap. nyatami! mmhh..bukannya kau suka hitam?tunggu dulu!yang dipahami karena kegamangannya akan jawaban2 itu maka orang seperti itu selalu berusaha merendah, padi again! SKAK MAT!!! =D tengah malam aku mencari2 makanan,hehe...
hitam:
saya tauji kalo kamu bakalan bilang padi lagi. tapi padinya sekarang sudah tak berisi lagi karena dampak pemanasan global kalee.
biru:
siapa bilang, begitukah maksudku?perasaanmuji itu...hehehe..btw pemanasan global baru ada pas muncul KTT di Bali itu (pada kemane aja kali ye?), hebat sekali memang para pakar kalau berkumpul, sampe anak2 juga mulai ikut2an penanaman sejuta pohon. ditambah lagi culasnya negara2 industri dengan keegoannya minta negara berkembang mendukung stop global warming, tapi tingkat produksi kendaraan bermotor dinaekin teruuuss. trus sy ikut2an jadi pakar[risu] dengan statement yang ngasal.hahaha...saya sudah kuenyaaang, eh tau ga (ya ga tau kalee!) berat badanku naekk 4 kilo euy! nyesek dan berat, jalan jadi gak cepat lagi. otak makin lemot, makin sulit tidur cepat pula! apako bikin?
hitam:
lagi ngenet. ente ngapain?
biru:
lagi mikir, mengkhayal, ngejar2 nyamuk pake raket listrik soale lagi cuti panggilan ultraman ngebasmi raksasa, abis itu supaya bisa tidur paling baca buku lagi. masih ada George Orwell dan Italo Calvino nangis2 minta dibaca =) heh! pake jaket gak?dah makan malem ga tadi? kamu ngenet dimana?ngapain?gila urusanku deh!!!
hitam:
di kampus, lagi ngedit blog. hehehe baru nyadar ya.
biru:
emang! sepertinya emang harus gila urusan dengan orang seperti dikau, lho bukannya saya berguru ke dikau? (inget2 smsmu yang dulu yang kerjaannya nanya melulu..). hehehe... =D tuh blog mau diapain lagi?kalo cuma digeser2 kiri kanan atas bawah ya sama aja lah.. eniwei saya lagi makin sering menertawai diri . akuntan kok mau jadi guru anak2, di pedalaman pula mau sambil nulis novel non fiksi. mengkhayalnya sudah akut, buku perencanaan masa depan sudah kusam dicoret2. blom lagi pertimbangan untuk merealisasi resolusi 2008. fiuhh!!
14 December, 2007
setengah abad Ikatan Akuntan Indonesia (snapshot)
Tiga tokoh dari sebelas pendiri IAI
Ketua Umum IAI dari periode ke periode
Salah satu spanduk acara di pinggir jalan Asia Afrika,
sebelum Hotel Mulia Senayan
Konferensi ditutup dengan acara Gala Dinner
Baliho acara di jalan Asia Afrika
Selamat datang...
Welcome to Jakarta,
pintu masuk ruang konferensi Federasi Akuntan se-ASEAN
Pembukaan acara Gala Dinner dengan tarian dan musik-musik instrumen tradisional
Angklung Mang Udjo, komunitas musik tradisonal Jawa Barat
hayyo! kumpulkan angklungnya..
Power Puff Girl (hahaha...), sibuk iya..foto jalan teruuuss..
13 December, 2007
kamar
Jarak dari tempat kost menuju kantor tak begitu jauh, hanya memakan waktu 15 hingga 30 menit, lokasi yang saya pilih memang sengaja strategis mengingat dua bulan lalu saya selalu pulang tengah malam alias lembur. Sekarang saya memutuskan tidak ngekost lagi, rasanya lebih enak di rumah, meski harus menanggung risiko tua di jalan (hahaha...,Jakarta gitu lohh..).
Kalau yang ini jangan ditanya, kasur tempat nyaman kedua karena mendukung hobi saya (tidur,hihihi...). Disini juga tempat saya biasa membaca, rasanya jengah saja jika sebelum tidur belum membaca. Entah itu koran hari ini, atau buku-buku yang masih belum tuntas dibaca. Biasanya kasur saya berantakan bertebaran dengan alat-alat tulis dan kertas-kertas (ahahaha...).
Lemari dan kursi plastik berwarna putih, sangat membantu sekaliii...
Hasil redesign tata letak, salah satu kebiasaan saya yang kata orang "aneh" adalah suka mengutak ngatik, bongkar-bongkar dan desain kamar sendiri. Nah! ini hal yang sama terjadi di tempat kost yang sempat saya tempati. Ibu kost dan tetangga kamar sempat terperangah, karena tak percaya saya bisa melakukannya sendirian dalam sehari (hitungan beberapa jam lah..). Wong tinggal digeser-geser kok spring bed, lemari dan mejanya.
kegiatan rutin adalah mencuci dan menyetrika. Selepas itu
baru saya pulang ke rumah (home sweet home...).
Jadilah seperti ini:
Room sweet room, segalanya bermula di pojok kamar.
sekedar cerita dari Ujian Sertifikasi Akuntan Publik Indonesia
Fiuhh!!! Capek juga mengawasi orang ujian 8 jam seharian, hanya diselingi dengan sholat, lunch dan coffebreak. Tapi saya cukup menikmati, karena saya senang mengamati banyak hal.
Sewaktu pelaksanaan ujian ada banyak hal-hal lucu, saya mengamati tingkah laku beberapa peserta. Hari pertama saya mengawas di sektor satu baris ke 11 dan 12. Perlu diketahui, sepuluh orang peserta diawasi oleh seorang pengawas yang posisinya masing-masing berada di samping meja ujian. Meja yang digunakan bentuknya memanjang tanpa laci atau tempat untuk menaruh barang apapun, di atas meja tak boleh ada barang lain selain alat tulis dan kartu ujian yang terpampang foto si peserta untuk dicocokkan dengan wajah peserta (maklum, sudah rahasia umum perjokian di Indonesia marak, khususnya di bidang pendidikan). Jarak satu peserta ke peserta lainnya setengah meter dari kiri kanan dan depan belakang. Setiap peserta tidak mendapatkan soal yang sama dengan peserta di sebelah kanan kiri dan depan belakangnya. Jadi, kualitas pelaksanaan ujian tergantung dari pengawas. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikan soal berkisar 1 - 2 menit.
Beberapa hal yang sering membuat saya tertawa geli sendirian sewaktu mengawasi ujian lebih dikarenakan pengamatan saya terhadap tingkah laku peserta, seperti: mondar-mandir ke toilet dibuntuti pengawas dan ditunggu di depan pintu toilet (hahaha...), garuk-garuk kepala, mengelus-elus kening, diam dengan tegak seperti sedang memohon pencerahan (mungkin berkonsentrasi mengumpulkan ingatan akan pengetahuan yang bisa membantu menjawab soal yang ada), menggoyang-goyangkan kaki, mengusap-usap tengkuk leher, memencet hidung atau juga mengelus-elusnya, merem melek, melihat ke atas, komat kamit, ada juga ibu hamil yang mengelus-elus perutnya (mungkin untuk menenangkan si jabang bayi yang mulai bergerak, atau berharap keberuntungan si bayi membantu menjawab soal, lho???), ada juga yang teler alias tidur, dan masih banyak lagi. Ya ampuuunnn!!! bayar untuk ikut ujian hingga 3 juta tapi kok nggak siap???
Orang-orang yang direkrut untuk pelaksanaan ujian ini adalah orang-orang independen dan disaring cukup ketat. Diusahakan untuk komit dengan kesepakatan untuk bebas dari conflict of interest, karena tanggung jawab orang-orang ini adalah ke publik. Tak ada pihak manapun yang punya hak menekan. Mohon doanya yaa...Semoga atasan saya dan tim dapat bekerja dengan baik hingga pengumuman kelulusan.
Btw, hari pertama berangkat ke tempat pelaksanaan Jakarta diguyur hujan semalaman, alhasil di beberapa wilayah terkena banjir. Jalan-jalan yang harus saya lalui dari rumah ke Menara Bidakara pun begitu. Jam 5 pagi saya sudah berangkat naik bus Patas AC 49 jurusan Tanjung Priuk - Blok M, setelah sebelumnya saya naik angkot KWK 07 ke Halte Polres Jak-Ut dengan menenteng sepatu dan memakai sandal jepit kuning. Setelah mendapati kursi empuk di bus, saya sibuk mengganti sandal jepit dengan sepatu. Saya selalu menyediakan tisu basah antiseptik, lalu saya bersihkan kulit kaki saya menggunakan tuh tisu, dilanjutkan memakai kaus kaki dan sepatu boots hitam. Rasa tenang hinggap ketika bus yang saya tumpangi memasuki jalan tol, jalur alternatif terbaik ketika Jakarta diguyur hujan. Tiba di Bidakara jam 7 kurang 15 menit, saya janji jam setengah 7 (terlambat 15 menitt euyy!!!), sorenya saya memutuskan untuk ikut menerima tawaran menginap panitia di Hotel Bumi Karsa yang masih satu komplek dengan area ujian. Subuh sekitar jam 4 suhu badan saya mulai naik, OMG! Saya drop, alhasil hari ke dua saya tak dapat bekerja secara maksimal. Manajer saya menegaskan saya untuk istirahat di kamar hingga jam 12 siang plus mengkonsumsi obat dan multivitamin. Rasanya berat meninggalkan teman-teman lain yang satu tim, meninggalkan tugas, meninggalkan momen-momen dan hal-hal lucu (meski mungkin ada yang beranggapan membosankan).
ps: foto diambil diam-diam secara terbatas, huehuehue...
04 December, 2007
Jakarta, ALERT!!! ALERT!!!
melewati kawasan Rawasari, jalan menuju tol nya banjir euy!
padahal hujan baru semalam, paginya masih rintik-rintik.
Iseng-iseng motret, musim penghujan genangan air di Jakarta
menjamur dimana-mana. Uppsss!!! saya kena cipratan motor
yang melintas. Untung pake rok hitam.
Mungkin penampakannya Jakarta beberapa minggu lagi akan
seperti ini.
Pak gubernur, wong kalo bikin jalan baru atau menambah kapasitas jalanan dibatasi juga dong penggunaan kendaraan bermotor.
Saya saja yang anak akuntansi kalo mau ngitung-ngitung, sama aja bohong solusi untuk penambahan jalur baru (jalanan) kalo begitu.
Bahasa ekonominya Break Event Point tuh...
Tapi mo gimana banyak yang menunjang maraknya kendaraan di ibukota, kredit motor atau mobil gampang (nggak semahal dulu), bikin SIM dan STNK juga gitu. Jalur three in one yang dijadiin solusi juga malah bikin masalah baru, itu tuh..joki-joki.
Bener-bener harus komprehensif menangani ini semua. Cape' dehh...
ps:
untuk beberapa orang di Makassar yang mengkhawatirkanku karena banjir ini, THANKS LOT! i'm okay babe..hanya jalanan yang banjir. Alhamdulillah rumah tidak.
pemanasan global
Save the world...Save the earth...
STOP global warming!!!
Hari ini membaca headline Kompas (4/12) cukup membuatku kagum, demontrasi.
Ribuan manusia berkumpul untuk mengajak seluruh masyarakat peduli akan lingkungan, peduli akan kondisi bumi yang kian hari kerentaannya dipercepat dengan makhluk yang menjadi khalifah.
Bukan hanya wajah kita yang butuh penuaan dini dan butuh pembaharuan (renewal).
Tempat kita berpijak juga memiliki hak.
Satu hal sederhana untuk Indonesia, jangan buang sampah sembarangan yaa...
Khusus untuk perempuan, saya pernah nyeletuk ke seorang perempuan cantik yang sama-sama menunggu angkot. Ketika dia membuang sampah sembarangan, "cantik cantik kok buang sampah sembarangan", beruntung saya nggak bilang yang lebih sadis "cantik cantik kok jorok".
Jakarta siap-siap banjir besar euyy!!! ALERT...ALERT...
stuck!
[need interlude maybe]
akhir-akhir ini semakin tidak konsentrasi
penyakit lupa merajalela, cepat lelah, malas pun hinggap
saya tidak tahu persis apa yang menguasai pikiran belakangan
yang pasti pekerjaan kemarin yang memerlukan daya konsentrasi tinggi sudah dilalui, dan sudah beberapa cc peluh dan air mata menemani (kasihan sekali..)
lalu beberapa hari ini akan ada lagi, OMG!!!
sabar...sabar...semuanya ada waktunya
belajar itu memerlukan proses yang tidak sebentar
cobalah untuk menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang rentan muncul
cuma itu bahasa-bahasa apologi yang saya miliki
jadi ingat jingle iklan sebuah shampo:
UNBREAKABLE!!!
JADIKAN SEMANGATMU TAK TERPATAHKAN...
Tapi beberapa kali ini semangat saya mudah terpatahkan,
Berbahagialah kamu masih pusing sultra..
itu tandanya kamu masih punya otak juga pikiran
itu tandanya kamu masih peduli dengan kehidupan
Ada yang tahu bagaimana menghilangkan perasaan diri nggak berguna (useless), bodoh, lemot??? Hikzz...
fiuhhhh!!!
30 November, 2007
mulai mengunyah dua buku "keren"
Mantap kan...Usai membaca kedua novel ini, saya sudah berjanji dalam hati (hehe...) mau memuat reviewnya di sini. Berikut kesan pertama saya pada saat membaca 10 halaman pertama.
Hari ini saya mulai membaca buku ini, dalam perjalanan ke kantor yang menghabiskan waktu sekitar hampir dua jam dari rumah. Sayang jika waktu itu dilewatkan begitu saja, selain dengan tidur di angkot (hehe...). Membacanya baru pada halaman 21, di awal membaca saya sudah dikejutkan dengan quote-nya Nietzsche mengenai pengulangan abadi dalam kehidupan. Setiap peristiwa seperti diselubungi aura nostalgia. Filsuf Jerman yang melejit dengan bukunya Sabda Zarathustra ini pemikirannya dikenal langka. Kembali ke buku, hingga halaman ke 10 buku ini masih menyuguhkan hal-hal filosofis (seorang teman bilang teori). Pada paragraf kedua halaman 10 baru setting dan penokohan cerita dimulai. Kesimpulan sementara saya untuk buku ini adalah "keren" alias "sangat menarik". Ingat ini subjektifitas yang bermain lohh..Seorang teman lain ketika saya tanya tentang buku ini bilang kalau dia kurang menyukai karena terlalu berat dan teoritis. Kalau saya pribadi suka dengan contentnya buku ini, sains, filsafat, sosial psikologi manusia menyatu, meski belum tuntas dibaca (saya suka baca melompat-lompat,hehe...)
Di awal membaca buku ini saya suka dengan penuturan ceritanya, meski mungkin lebih bagus dibaca versi aslinya bukan terjemahan. Dari bagian belakang buku, saya sudah yakin akan diajak berpetualang tentang hidup. Seperti halnya buku The Alchemist karya Paulo Coelho, katanya buku ini juga punya daya tarik yang besar.
27 November, 2007
memaknai ketulusan
untuk melepas beban dan penat menjadi sebuah kenikmatan
belajar dari pak Kalim, satpam kantor yang tak kenal lelah menunggu saya lembur bekerja, terkadang hingga tengah malam untuk menuntaskan deadline
tak sekali pun marah, senyumnya tetap saja terpancar
mendengarkan ceritanya kala saya menunggu taksi pesanan menjemput
lalu menemani dan mengangkat bawaan saya masuk
berulang-ulang, tak pernah mau diberi uang
padahal saya tahu, orang-orang seperti dia dalam kondisi butuh
untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya
pagi-pagi dia sudah menyapa dan memberikan semangat
katanya untuk ukuran orang baru saya cukup rajin
tapi saya belajar dari Bapak,
untuk setiap keluh dan peluh atas rutinitas yang sedang saya jalani
adalah tak pantas
seperti menemukan kembali sosok seorang bapak
begitu bijaksana dan bersahaja
terima kasih...
22 November, 2007
Sebuah catatan dari: Perempuan, Rumah Kenangan
PENULIS: M. AAN MANSYUR
PENERBIT: INSISTPRESS
TEBAL: 186 HALAMAN
Saya membeli buku ini di bulan Agustus, sepulang kerja di sebuah Toko Buku di Atrium, Senen. Tepatnya saya temukan di deretan buku-buku chicklit dan teenlit, sempat bingung juga ketika mencarinya, pasalnya setiap ke Toko Buku saya tak pernah menyentuh area buku-buku sejenis itu. Jenuh mencari di deretan fiksi-novel dan jam menunjukkan beberapa menit lagi toko akan tutup, berinisiatiflah saya ke penjaga Toko. Sebelumnya dua buah buku lain yg saya niatkan untuk dibeli sdh berhasil saya dapatkan, Jalan Raya Daendels-Pram dan Tuesday With Morrie-Mitch Albom. Akhirnya setelah saya tanyakan, Mbak penjaga toko menunjukkan arah tempatnya. Pergilah saya ke deretan fiksi mengikuti penjaga toko, lalu ke area khusus chicklit dan teenlit. Dengan sabar Mbaknya mencari, gotcha! Di deretan bagian paling bawah, tidak sulit memang karena desain sampulnya lain sendiri (hehehe...).
Membaca buku ini membuat saya cukup lama berpikir untuk mencerna setiap kalimat yang ada. Bukan! Bukan sulit untuk dicerna karena kata-katanya yang susah, tapi tiap kalimat dan ada beberapa yang sangat saya suka dituturkan secara sederhana namun dalam dan penuh makna. Sayang jika hanya dilewatkan begitu saja, bukankah pada suatu kata menyimpan makna?. Ini memperjelas bahwa si penulis memang seorang pencandu buku dan gemar membaca apapun tentang hidup. Dari prolog sudah terlihat:
”Aku tak akan pernah mau mencoba menipu kenangan dengan melupakannya, sebab kenangan punya banyak cara untuk menjerat lalu membunuh kita. Sesungguhnya manusia tak lebih dari seekor binatang bodoh dan lemah di hadapan kenangan. Hanya ada dua pilihan; menjadi jinak atau mati terjerat dalam sejenak.” (hal: 4)
”Hal-hal besar digerakkan oleh hal-hal kecil.” (hal: 6)
”Mati bukanlah sesuatu yang menakutkan bagiku, sudah sejak kecil aku bersahabat dengannya.”(hal: 7)
Atau di bab-bab lain:
”Hidup ini sungguh indah-meskipun kadang-kadang menyebalkan! Atau justru bagian yang menyebalkan itulah keindahan sejati?.” (hal: 170)
Menunjukkan kepiawaian seorang penulis yang juga penyair dalam mengolah kata dan menjiwai kisah itu. Dari yang pernah saya baca dan pahami, penulis tak sepenuhnya menulis secara objektif, itu pun berlaku bagi pembaca (hehe...). Jika saja saya tidak tahu sama sekali dengan sosok penulis ini, tentu saja saya akan menganggapnya langsung ini kisahnya. Nyata dan menjiwai. Seperti halnya Winnetou karya Karl May (maaf An, jika saya berlebihan).
Saya pun mengangguk-angguk ketika membaca buku ini, menandakan jika sepaham dengan setiap kata yang saya baca, tersenyum dan terdiam sejenak menertawai diri, seperti bercermin saja. Mengingat di buku ini pembahasan mengenai perempuan dengan sisi-sisi psikologis dan karakteristiknya dibahas dengan bahasa-bahasa sindiran maupun bahasa simbol, ini dapat dibaca pada bagian perkenalan dan hubungan-hubungan sang tokoh dengan beberapa perempuan. Terkadang juga tidak sepakat dengan menggelengkan kepala dan beradu argumen dalam hati(hal saya sukai dari aktivitas membaca, kita bisa menguasai apapun untuk menjadi diri kita, membuka ruang-ruang dialog dengan monolog). Buku ini membuat saya hanyut ke dalam setiap ceritanya dan tak mau membuat saya berhenti membacanya (seingat saya, waktu itu saya membacanya di angkot hingga sampai rumah dituntaskan). Sama halnya seperti waktu membaca karya Muhidin M Dahlan, Aku Buku dan Sepotong Sajak Cinta (kalau tak salah edisi baru judulnya beda, saya tak ingat). Gaya bertuturnya asyik! Tak bosan untuk dibaca berkali-kali.
Buku yang tak sekedar novel biasa, banyak gagasan dan harapan yang tertuang ingin disampaikan penulisnya. Hal yang lumrah pada sebuah karya. Tak sekedar menggambarkan kisah cinta yang menguras emosi pembaca, namun juga memberi wawasan dan kesadaran (tentang film, musik, buku dan perbukuan, kepenulisan, pendidikan dan banyak tentang hidup tentunya). Seorang tokoh laki-laki yang digambarkan memiliki cita-cita yang bagi sebagian orang di negeri ini mungkin ”aneh” alias tak lazim, menjadi penulis dan pemilik Rumah Baca untuk tujuan yang terkesan klise "mencerdaskan anak-anak bangsa". Bergelut di bidang perbukuan dan kepenulisan, suatu hal yang langka. Yang saya tangkap dari buku ini, penulisnya berharap bisa menggugah kesadaran orang untuk membaca lalu menuliskannya. Hal ini bisa dibaca di beberapa halaman:
”Maka dengan menuliskannya ke dalam sebuah buku, aku berharap seluruh masa lalu itu berbaring di sana dengan damai dan menjadi tetap ada-mungkin sesekali akan menghantui tidurku, tetapi aku yakin akan membuatku tersenyum dan menangis bahagia berkali-kalidi saat-saat jaga. Sebab segala kata yang dituliskan adalah gudang yang menyimpan roh kita-membuat kita tetap hidup bahkan setelah kita mati.” (hal: 8)
”Bukankah benar bahwa satu-satunya hal yang tak akan pernah mati adalah buku?” (hal: 8)
” Kesedihan akan kuberikan kepada hal-hal lain saja. Air mataku akan aku hujankan buat perang yang tak henti-henti di seluruh penjuru bumi. Tangisku akan kuberikan untuk orang-orang yang tak mau membaca buku. Bukankah hal-hal seperti itu jauh lebih menyyedihkan?” (hal: 172)
Jika Hernowo menghasilkan karya itu dalam bentuk buku-buku How To, buku ini menyajikan hal-hal persuasif (mengajak) dalam bentuk nge-sastra dengan segala alasan dan pertimbangan kenapa kita harus membaca dan menulis. Cukup kaya akan sindiran-sindiran dan kritikan yang membangun semangat. Setiap bab selalu diawali quote-quote terkenal yang terkait dengan inti dari cerita bab itu.
Salah satu paragraf yang saya suka di dalam buku ini:
”Bagaimanapun sepi dan tidak bahagianya masa kecil, ia tetaplah sebuah karya sastra yang selalu menarik untuk dibuka dan dibaca, dibaca lagi. Uniknya setiap orang memiliki karya sastranya masing-masing dengan sangat khas. Disitulah letak berbagi dan menziarahi masa kanak-kanak kita.” (hal: 22).
Perempuan Rumah Kenangan, sebuah buku yang menggambarkan perempuan dengan kelemahannya yang menjadi kekuatannya. Saya jadi ingat sebuah kutipan entah dimana pernah dibaca, karena kesetiaannya itu perempuan dikatakan perempuan. Dan ingat bacaan di buku Quraish Shihab yang berjudul Perempuan, dikatakan ada seorang pakar psikologi yang berpendapat bahwa perempuan cinta penderitaan, berkorban karena teguh akan komitmen. Seperti halnya cerita dalam buku ini (Ibu si tokoh utama).
Rumah, bagi saya tempat yang nyaman dimana berkumpulnya keluarga inti sebagai ruh, taman yang asri sebagai nafas, ruangan perpustakaan pribadi dengan banyak buku yang beragam sebagai penyempurna diselingi diskusi-diskusi bebas penghuninya.
Rasanya lebih asyik membaca buku ini sambil mendengarkan musik-musik instrumen, Kenny G juga boleh. Atau... Coldplay, why not?.
Selamat membaca!!!
ps: An, cuma ini yang bisa saya tuliskan sebagai seorang amatiran /(^_^)\komitmen
Sering berbeda pendapat dengan kedua sahabat saya Igu dan Ali (Ketua Umum dan Sekretaris), saya ketua satu yang kurang ajar, selalu saja melawan, banyak menuntut dan marah-marah kalau mereka mulai lalai. Sebenarnya posisi itu silih berganti antara kami bertiga juga teman-teman presidium lainnya, selalu ada posisi saling mengingatkan, memberi dan menerima bagaimanapun hasilnya nanti di MUBES (Musyawarah Besar), apakah LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban) kami diterima atau tidak. Meskipun mungkin belum dikatakan layak, namun ada keharuan tersendiri bahwa kami melewatinya sama-sama.
Konsisten, istiqomah dalam mengemban amanah begitu berat karena yang dijadikan tujuan adalah kebaikan untuk lembaga itu sendiri. Bukan sekedar ingin memecahkan masalah-masalah pengkaderan lembaga kemahasiswaan atau sekedar menjalankan kegiatan program kerja rutin, jauh dari itu yang lebih penting memecahkan masalah konflik antar individu sebagai bagian dari lembaga itu sendiri lebih sulit. Konflik internal di dalam presidium, antar pengurus dengan sesamanya, pengurus dengan Maba yang selalu saja dijadikan sasaran utama pengkaderan (hey! yang lain kemana? Semua keluarga adalah kader), pengurus dengan pendahulunya (senior), juga senior dengan Maba.
Yang paling menakutkan dan menurunkan semangat adalah ketika ada yang ingin mundur dari kepengurusan, apalagi jika keadaan kelembagaan dalam kesemrawutan. Seperti dalam rumah tangga, tiba-tiba sepihak meminta cerai karena tak cocok (duh! Kenapa analoginya mesti ini ya?). Tak semudah itu untuk bertahan dengan kondisi emosi yang naik turun karena jengah dengan perilaku pasangan atau dari pihak keluarga lain. Sepemahaman saya, organisasi-organisasi seperti halnya lembaga mahasiswa itu adalah replika kecil dari dunia nyata. Meski tak sedikit para pengurusnya yang sudah di dunia kerja bilang ”bullshit! Dunia kelembagaan mahasiswa tidak bisa dibandingkan dengan dunia kerja”. Saya secara pribadi tak sepakat, di dalam dunia kerja banyak hal-hal yang juga bertentangan dengan pemahaman diri (konflik batin) begitu juga dengan konflik kepentingan. Butuh kesabaran ekstra, ketekunan dan saling pengertian juga mendukung. Apalagi jika harus menghadapi orang-orang oportunis. Diperlukan keterampilan mengolah konflik dengan arif, bukan menghindari konflik atau cenderung apatis.
Tiba-tiba saya ingat tentang hal-hal yang menghambat rasionalitas, ada tiga. Entah itu didapat sumbernya darimana, jelasnya saya dapat dari diskusi-diskusi lepas. Seperti kemarin malam, seorang junior menyapa di YM lalu berlanjut tentang hal yang berhubungan dengan rasional dan emosional. Pembicaraan kami diawali dengan sesuatu yang mungkin terkesan basa basi, bertanya kabar. Dan kami saling menjawab, adik saya yang satu itu kelihatannya serius sekali. Lalu saya menyelinginya dengan canda:
”kabar apa de’?”, ”kesehatan”, ”keuangan”, ”asmara” atau ”apa”.
HAHAHA...seperti zodiak saja.
Lalu di YM nya dia menunjukkan senyum lebar terlihat gigi (smiley).
Katanya tanggal 24-25 nanti himpunan akan Bina Akrab dan dia mohon dukungan dan doa. Duh! Rasanya ingin mengikuti kegiatan itu lagi, bukan karena post power syndrome seperti kebanyakan politikus dan pejabat pemerintahan menjelang Pemilu. Hanya rindu akan kegiatan yang benar-benar penuh semangat kekeluargaan dan pencerahan bersama keluarga kedua saya.
Tapi kenapa ya? Yang terakhir saya ikuti rasanya lebih seperti berdarmawisata, bersenang-senang ketimbang pembelajaran. Apa karena terlalu dimanjakan dengan fasilitas? Ah! Tidak juga. Pasti ada yang kurang benar (saya tak mau menyebut ”salah”, karena bisa jadi merupakan bentuk penghakiman sepihak). Mungkin itu dari konsep-konsep yang diejawantahkan dalam bentuk kegiatan itu yang kurang ngena, mungkin tujuan dan sasaran terlalu tinggi namun tidak diimbangi dengan realitas kemampuan yang dimiliki. Timpang! Atau ini hanya asumsi saya?
Kembali ke cerita adik tadi, saya balik bertanya padanya dengan pertanyaan yang sama. Dilanjutkan dengan kata: ”sepertinya gelisah sekali, maaf ya boleh kakak jujur?”
Dan dia menyambut dengan kalimat pertanyaan ”darimana kita tahu?kapanki terakhir Rima cerita?”.
Rima senior satu tahun diatasnya, yang selang dua tahun dibawah saya.
”Bagaimana kabar himpunan?jurusan?fakultas?unhas?”, saya balik bertanya.
Dan ternyata masalah yang klasik, seperti cerita saya di awal, ketidaksepahaman antar sesama, perasaan dikucilkan karena beda dan perasaan dikuburnya eksistensi diri. Konflik internal adalah salah satu momok dalam sebuah lembaga kemahasiswaan jika para anggotanya tidak bisa berusaha bersikap dan berpikir bijaksana dalam menghimpun perbedaan. Alhasil ada kader baru (itupun masih bersifat temporer), tapi kader lama (pengurus itu sendiri) lepas atau tak terurus.
Bagaimanapun, memang tiga hal itu menghambat rasionalitas karena memang kecenderungan emosi bermain. Masih ingat dengan materi LKTM mengenai manajemen konflik, sebuah lembaga harus cerdas menangani dan mensiasatinya. Ketiga hal tersebut juga menumbuhkan kebijaksanaan jika ditanamkan, termasuk pada kasus ini. Komitmen, keluarga, dan perasaan. Komitmen adalah tingkatan paling utama dalam memperjuangkan dan mencapai sesuatu. No matter what, no matter how. Itu sudah menjadi risiko ketika diri mengambil keputusan secara sadar tanpa intimidasi atau paksaan dari pihak luar.
Ada yang mau menambahkan???
Ps: sangat jarang menemukan orang yg cerdas dan bijaksana, tapi saya sempat mengagumi orang seperti itu (hehe...).
Salam...
perlombaan iblis
Al-Aqqad menulis apa yang dinamainya Musabaqat Iblis (Perlombaan Iblis), di mana dilakukan perlombaan tentang siapa yang paling hebat dalam kedurhakaan dan paling mampu menyesatkan dan menggoda. Tujuh setan bersaing. Setan kesombongan, setan iri hati, setan putus asa, setan penyesalan, setan asmara, setan kemalasan, dan setan riya’ (bermuka dua).
Yang memenangkan perlombaan adalah setan yang disebut terakhir ini, dan ketika hadiahnya akan diserahkan dia menampakkan keengganan menerima, padahal sebenarnya dia ingin, karena memang demikian pembawaannya. Iblis berucap kepadanya dengan kata-kata bersayap yang maknanya lebih kurang:
Engkau menolaknya!!!
Tanpa dikau, jelas keburukan dunia.
Tetapi denganmu ia nampak penuh pesona.
Ambillah dunia, dan jadikan kediamanmu.
Dengan demikian, terbuka pintu-pintu neraka.
Diambil dari: Yang Ringan Jenaka-M.Quraish Shihab,2007 (Lentera Hati).