22 November, 2007

komitmen

Photo Sharing and Video Hosting at Photobucket

Saya masih ingat dulu diskusi-diskusi ringan sewaktu mahasiswa, membicarakan apa saja dengan teman-teman. Yang pasti lebih banyak tentang hidup. Saya rindu masa-masa itu, seperti pencarian makna akan hidup pada setiap aktivitas sehari-hari semangat sekali. Idealis memang, tapi kami yakin itu bukan mimpi. Tentang pesta, buku dan cinta, kata GIE. Duduk sama-sama di depan pintu satu atau pintu dua kampus sore hari setelah penat mengikuti perkuliahan hingga tengah malam sambil minum kopi atau sarabba’, pilihan yang lebih asyik lagi di pinggir pantai Losari ditemani ombak dan pengamen yang datang silih berganti. Igu, Ali, Afif, Fandi, Bel, Pai betapa rindu berkumpul dengan kalian.

Sering berbeda pendapat dengan kedua sahabat saya Igu dan Ali (Ketua Umum dan Sekretaris), saya ketua satu yang kurang ajar, selalu saja melawan, banyak menuntut dan marah-marah kalau mereka mulai lalai. Sebenarnya posisi itu silih berganti antara kami bertiga juga teman-teman presidium lainnya, selalu ada posisi saling mengingatkan, memberi dan menerima bagaimanapun hasilnya nanti di MUBES (Musyawarah Besar), apakah LPJ (Laporan Pertanggung Jawaban) kami diterima atau tidak. Meskipun mungkin belum dikatakan layak, namun ada keharuan tersendiri bahwa kami melewatinya sama-sama.

Konsisten, istiqomah dalam mengemban amanah begitu berat karena yang dijadikan tujuan adalah kebaikan untuk lembaga itu sendiri. Bukan sekedar ingin memecahkan masalah-masalah pengkaderan lembaga kemahasiswaan atau sekedar menjalankan kegiatan program kerja rutin, jauh dari itu yang lebih penting memecahkan masalah konflik antar individu sebagai bagian dari lembaga itu sendiri lebih sulit. Konflik internal di dalam presidium, antar pengurus dengan sesamanya, pengurus dengan Maba yang selalu saja dijadikan sasaran utama pengkaderan (hey! yang lain kemana? Semua keluarga adalah kader), pengurus dengan pendahulunya (senior), juga senior dengan Maba.

Yang paling menakutkan dan menurunkan semangat adalah ketika ada yang ingin mundur dari kepengurusan, apalagi jika keadaan kelembagaan dalam kesemrawutan. Seperti dalam rumah tangga, tiba-tiba sepihak meminta cerai karena tak cocok (duh! Kenapa analoginya mesti ini ya?). Tak semudah itu untuk bertahan dengan kondisi emosi yang naik turun karena jengah dengan perilaku pasangan atau dari pihak keluarga lain. Sepemahaman saya, organisasi-organisasi seperti halnya lembaga mahasiswa itu adalah replika kecil dari dunia nyata. Meski tak sedikit para pengurusnya yang sudah di dunia kerja bilang ”bullshit! Dunia kelembagaan mahasiswa tidak bisa dibandingkan dengan dunia kerja”. Saya secara pribadi tak sepakat, di dalam dunia kerja banyak hal-hal yang juga bertentangan dengan pemahaman diri (konflik batin) begitu juga dengan konflik kepentingan. Butuh kesabaran ekstra, ketekunan dan saling pengertian juga mendukung. Apalagi jika harus menghadapi orang-orang oportunis. Diperlukan keterampilan mengolah konflik dengan arif, bukan menghindari konflik atau cenderung apatis.

Tiba-tiba saya ingat tentang hal-hal yang menghambat rasionalitas, ada tiga. Entah itu didapat sumbernya darimana, jelasnya saya dapat dari diskusi-diskusi lepas. Seperti kemarin malam, seorang junior menyapa di YM lalu berlanjut tentang hal yang berhubungan dengan rasional dan emosional. Pembicaraan kami diawali dengan sesuatu yang mungkin terkesan basa basi, bertanya kabar. Dan kami saling menjawab, adik saya yang satu itu kelihatannya serius sekali. Lalu saya menyelinginya dengan canda:

”kabar apa de’?”, ”kesehatan”, ”keuangan”, ”asmara” atau ”apa”.

HAHAHA...seperti zodiak saja.

Lalu di YM nya dia menunjukkan senyum lebar terlihat gigi (smiley).

Katanya tanggal 24-25 nanti himpunan akan Bina Akrab dan dia mohon dukungan dan doa. Duh! Rasanya ingin mengikuti kegiatan itu lagi, bukan karena post power syndrome seperti kebanyakan politikus dan pejabat pemerintahan menjelang Pemilu. Hanya rindu akan kegiatan yang benar-benar penuh semangat kekeluargaan dan pencerahan bersama keluarga kedua saya.

Tapi kenapa ya? Yang terakhir saya ikuti rasanya lebih seperti berdarmawisata, bersenang-senang ketimbang pembelajaran. Apa karena terlalu dimanjakan dengan fasilitas? Ah! Tidak juga. Pasti ada yang kurang benar (saya tak mau menyebut ”salah”, karena bisa jadi merupakan bentuk penghakiman sepihak). Mungkin itu dari konsep-konsep yang diejawantahkan dalam bentuk kegiatan itu yang kurang ngena, mungkin tujuan dan sasaran terlalu tinggi namun tidak diimbangi dengan realitas kemampuan yang dimiliki. Timpang! Atau ini hanya asumsi saya?

Kembali ke cerita adik tadi, saya balik bertanya padanya dengan pertanyaan yang sama. Dilanjutkan dengan kata: ”sepertinya gelisah sekali, maaf ya boleh kakak jujur?”

Dan dia menyambut dengan kalimat pertanyaan ”darimana kita tahu?kapanki terakhir Rima cerita?”.

Rima senior satu tahun diatasnya, yang selang dua tahun dibawah saya.

”Bagaimana kabar himpunan?jurusan?fakultas?unhas?”, saya balik bertanya.

Dan ternyata masalah yang klasik, seperti cerita saya di awal, ketidaksepahaman antar sesama, perasaan dikucilkan karena beda dan perasaan dikuburnya eksistensi diri. Konflik internal adalah salah satu momok dalam sebuah lembaga kemahasiswaan jika para anggotanya tidak bisa berusaha bersikap dan berpikir bijaksana dalam menghimpun perbedaan. Alhasil ada kader baru (itupun masih bersifat temporer), tapi kader lama (pengurus itu sendiri) lepas atau tak terurus.

Bagaimanapun, memang tiga hal itu menghambat rasionalitas karena memang kecenderungan emosi bermain. Masih ingat dengan materi LKTM mengenai manajemen konflik, sebuah lembaga harus cerdas menangani dan mensiasatinya. Ketiga hal tersebut juga menumbuhkan kebijaksanaan jika ditanamkan, termasuk pada kasus ini. Komitmen, keluarga, dan perasaan. Komitmen adalah tingkatan paling utama dalam memperjuangkan dan mencapai sesuatu. No matter what, no matter how. Itu sudah menjadi risiko ketika diri mengambil keputusan secara sadar tanpa intimidasi atau paksaan dari pihak luar.

Ada yang mau menambahkan???

Ps: sangat jarang menemukan orang yg cerdas dan bijaksana, tapi saya sempat mengagumi orang seperti itu (hehe...).

Salam...

3 comments:

  1. Sa kira untuk menjadi bijak, semua mesti melalui proses pembelajaran. proses yang sulit lama dan kadang membosankan. tapi hasilnya bisa kita liat sekarang, seperti apa jadinya.

    persoalan klasik, perbedaan, ketegangan, kekecewaan, sudah biasa mi dalam hidup. bahkan boleh dibilang, masa mahasiswa adalah masa simulasi hidup. saat ada konflik, nah disitulah pembelajaran terbaik bagi yg mau mencari cara penyelesaian persoalan, bukan metode yang dicari biasanya. tapi sikap. SIKAP diri dalam menanggapi. Ada yg emosional ada yang santun, ada yang sabar, ada yang cerdas.

    Tahu kenapa mostly orang tua itu bijak? karena mereka telah melewati semua itu.. :)

    ReplyDelete
  2. Konflik internal lumrah ada di setiap organisasi, untuk semacam bumbu agar organisasi tetap dinamis:)
    Tapi terkadang ada individu yang menjadikan masalah/minat pribadi menjadi masalah organisasi, yg hasilnya membuat organisasi jadi limbung... tapi ini juga resiko berorganisasi... orgnya macam2 :D

    ReplyDelete
  3. 4 daeng rusle:
    yup! smuanya dlm hidup itu intinya ya bljr. mmhhh...ya tawwa yg sdh tua, krn bijakq (hihihi... :D ). b'arti sultra msh muda dong, cos kadang msh sk marah >:(

    4 bang doel:
    sip bang! makanya kudu pake strategi, biar gak ikut2an kebawa emosi (sssstt...tp kemaren sy abis protes ma bosku di ktr,hehe...)

    ReplyDelete

jika mampir dan sempat membaca, silahkan sejenak berkomentar...terima kasih ^_^