Hal ini terjadi sewaktu saya berangkat ke salah satu Kantor Akuntan Publik di daerah Cipulir Jakarta Selatan. Hari itu saya dipanggil dosen saya, untuk dipertemukan dengan salah satu staf-nya yang akan membicarakan tawaran untuk menjadi akunting di salah satu perusahaan klien KAP tersebut.
Sewaktu dalam perjalanan jauh (sangat jauh!) menuju kesana, di angkot ke-4 yang saya naiki berjenis mikrolet biru nomor 01. Biasanya hanya tiga kali saja naik angkot, tapi karena terlewat jauh akhirnya saya memutuskan satu kali lagi naik angkot.
Nah! Sewaktu naik, saya sempat bertanya kepada pak supir yang menjawab khas dengan logat Jawa-nya. Jawabannya kurang meyakinkan, ada 3 orang penumpang di dalam, seorang pemuda kurus berkepala plontos mengiyakan kalau angkot yang saya naiki melewati tempat yang saya tuju. Dua orang penumpang lagi adalah seorang ibu memakai jilbab hitam bersama dengan seorang anak laki-lakinya yang memakai seragam SMP. Selang lima belas menit kemudian mikrolet memasuki area pasar cipulir, seperti biasa..MACET!!! setelah berhasil melewati pasar, si supir kembali ngetem di depan SMP 43 yang bersebelahan dengan pasar (dapatkah anda bayangkan belajar di sebelah pasar yang bising, bau dan kotor?tata ruang kota yang aneh!). Sekitar sepuluh menit kemudian empat orang remaja laki-laki masuk ke dalam angkot. Ada dua tempat favorit saya ketika di angkot, tepat di pinggir pintu masuk jika siaga mencari alamat agar tak nyasar dan mudah bertanya dengan supir, satunya lagi di pojok belakang dimana saya bisa bersandar dan tidur atau membaca.
Dua orang remaja tadi duduk di sebelah saya, ke duanya lagi di hadapan kedua temannya. Mungkin supaya lebih enak ngobrol. Tak lama mikrolet pun jalan memasuki area komplek perumahan, ke empat remaja tadi sibuk becerita tentang teman-temannya dan mengomentari seorang gadis bernama dian, juga kejadian heboh sewaktu di sekolah. Sewaktu melewati komplek perumahan tersebut terpampang beberapa spanduk. Spanduk salah satu calon kandidat Pilkada DKI Jakarta (maaf..ketika cerita ini ditampilkan masih berstatus calon).
Tiba-tiba salah satu anak yang berbadan paling besar menyeringai dengan logat betawi yang kental : “eh, kalo lo milih lo mo pilih siapa?”,
teman yang dihadapannya membalas, “ye...emangnya kita udah bisa milih?katepe aja lo blom punya!”.
“maksud gue mo nanya, menurut lo smua siapa yang bagus dipilih gitu”, selorohnya lagi.
“yah..kayaknya bagusan kalo yang nggak dari partai deh, lo liat aja yang kasusnya Amin Rais kemaren”, seru teman yang berada di sebelahnya.
“iya calon independen, kayak yang gue lihat di tivi, bokap gue mah maunya milih Sarwono. Tapi katanya gak bisa masuk ya yang independen-independen gitu”, sergah si badan besar menguasai pembicaraan.
“iya lo liat aja di berita katanya orang Jakarta maunya milih calon yang nggak dari partai, hasil survey katanya, tapi gue gak tau siapa yang nyurvei”.kali ini teman yang dihadapannya menyahut.
“Tapi tetep aja kali kayaknya si Fauzi Bowo yang menang (sambil melihat spanduknya yang dipasang di tiang listrik), orang kata bapak gue suaranya dia mah udah 70 persen deh..jadi sama aja bo’ong calon independen jadi kandidat”. Lagi si badan besar menyeringai dengan penuh keyakinan.
“kok, lo ngomongnya gitu?belom tentu lagi.”, teman disebelah teman yang dihadapannya menanggapi serius.
“yee...gak percaya, udah bisa ditebak tahu hasilnya. Orang dia (maksudnya Fauzi Bowo) aja udah didukung banyak partai, partai-partai besar lagi!”, jawabnya lagi meyakinkan.
“blom lagi trik-triknya, money politic man..kan dapet dana banyak dari partai, lo liat aja tuh spanduk-spanduknya banyak banget deh, apalagi kalo cuma buat bayar orang”, selorohnya dengan nada terlihat sok tahu.
“ah..gua mah gak ngerti dah, mau siapa kek yang kepilih yang penting Jakarta aman, jadi bagus lah!”, celetuk si pendek yang berusaha bijaksana.
Setelah sempat terbawa dengan percakapan tadi, akhirnya si supir menegur saya. “Mba, turun disini aja, ntar jalan-jalan sedikit ke arah sana (sambil menunjuk)”, katanya dengan logat Jawa yang sangat kental.
Di negeri ini, katanya masyarakat dicerdaskan dengan demokrasi. Tapi nyatanya segala aspek bisa dipolitisasi. Bukannya saya mau menyepakati pendapat remaja es em pe tadi dan bukannya mau men-generalisasi bahwa semua elit politik itu culas. Yang jelas sudah jadi rahasia umum banyak hal-hal yang direkayasa oleh para penguasa. Pemikiran masih saja dibredel, susah untuk jadi orang merdeka di negeri yang katanya tercinta! Masyarakat seakan-akan diajak untuk sadar akan politik, nyatanya malah dibikin bingung, kecewa dan pesimis, alih-alih merasionalisasikan pemenuhan kebutuhan dengan pemilihan yang asal-asalan. Yang penting dapat uang dan bisa makan.
Sebegitu akutnya kah masalah kepercayaan disini???
Saya malah menambah statistik orang-orang yang sudah tak percaya dengan pemerintah.
No comments:
Post a Comment
jika mampir dan sempat membaca, silahkan sejenak berkomentar...terima kasih ^_^