28 September, 2007

menikam diam

Diam-diam dia menikam atas nama rindu

Dari ujung bahu hingga menembus kalbu

Seperti kepala yang kau sandarkan

Pada dermaga yang sempat hancur oleh sebuah kapal

Lalu kau bangun kembali, dengan bentuk mungil dan lebih rapih

Seperti diriku


Mungkin memang kita selaiknya diam-diam saling menikam

Dengan sesuatu yang sederhana tak bernama namun terasa sempurna

Tapi aku selalu saja ingin mendefinisikannya

2 comments:

  1. mbak, aku rasa nasib kita agak mirip: babak belur dihajar cinta! terkadang juga lahir puisi, sekonyol dan senorak apapun. awalnya, ingin hanya membacanya di hadapan para malaikat yang bergerombol di sepertiga malam terakhir, biar mereka tertawa sepuasnya, he he. tapi apa daya, pagi harinya kadang sudah terpampang di blog dan dia ikut menikmatinya, meski lebih sering mendiamkannya.

    begitu itu rapuhnya aku, berkali-kali membuatNya mgkn cemburu. bukankah hanya hati yang tidak dipenuhi namaNya saja yang masih memiliki ruang utk mencumbui selain bayanganNya? ahh..

    ReplyDelete
  2. tp sy tak merasa babak belur,hehehe... dinikmati saja 'n dibawa ke arah yg baik, slh satunya yaa bs bikin tulisan, bukan? toh! kalaupun dia menikmati dgn membacanya,insyaAllah dihitung kebaikan krn sdh mnyenangkan hati org. jgn cpt menyimpulkan org yg hatinya msh sdikit terusik dgn hamba-Nya berarti tdk mengingat-Nya, hati-hati..ini wilayah abstrak,cm seseorg dgn Tuhannya yg tahu looh. anyway..thanks 4 the comment, nice..

    ReplyDelete

jika mampir dan sempat membaca, silahkan sejenak berkomentar...terima kasih ^_^