01 March, 2005

cerpenkoe

Surat untuk sahabat

Aku telah lama mengenalmu, tepatnya saat hari kelahiranku 21 tahun silam. Keluarga menyambut kehadiranku dengan penuh sukacita, entahlah nasibmu. Mereka tak pernah berusaha mengenalmu, akupun seperti itu tak pernah menghiraukanmu meskipun kau selalu membayang-bayangi hidupku. Aku masih seorang gadis cilik yang lugu dan polos. Waktu itu kau tak berarti apa-apa bagiku. Masa kecilku seperti halnya kisah putri di sebuah negeri dongeng, bukan seperti kisah anak-anak di sinetronnya Raam Punjabi yang tak mendidik itu. Tiga ribu enam ratus lima puluh hari tepatnya, kala itu aku mulai merasa dekat denganmu. Aku genap berusia sepuluh tahun. Perkenalan kita diawali ketika kejadian ibuku menyatakan menyerah atas pernikahannya dengan ayah, lalu ia melarikan diri dan berusaha menjauh sejauh-jauhnya dari ayah juga kami. Kata orang disekitarku, itu suatu hal yang biasa terjadi dalam suatu hubungan. Selalu datang dan pergi, serta tak selamanya baik. Seperti halnya artis dari zaman ke zaman selalu ada konflik kawin cerai. Tapi ibuku bukan artis dan aku tidak menganggap hal ini merupakan suatu kewajaran. Jujur saja meskipun aku waktu itu baru anak kemarin sore yang tak mengerti apa-apa. Kupikir segala sesuatu itu dengan segala alasan apapun selalu dicari pembenarannya. Aku selalu bertanya padamu, kaupun selalu berusaha menenangkan dan herannya semua yang kau lakukan padaku berhasil.

Tak dapat disangkal, akhirnya kita berteman baik. Beberapa hari setelah siang dan malam saling bergantian hadir, kemurungan kecil menerpaku. Aku belum terlalu mengerti apa yang terjadi pada orang tuaku saat itu, tetapi mereka menayakan hal yang sulit untuk kujawab dan aku harus memutuskannya. Kau selalu menghiburku dengan teriakan penuh semangat “ayolah!jangan bingung. Aku tahu kau sulit untuk memutuskan ikut dengan siapa, tapi sebaiknya ikutlah dengan ibumu tanpa meninggalkan ayahmu. Sekarang jangan murung lagi!”

Sebenarnya kau tahu, kemurungan dan kesedihan ini bukan hanya karena kejadian itu. Tapi juga karena penyesalanku mengapa saat itu aku baru dekat denganmu. Dan untuk pertama kalinya air mata ini jatuh berkat sentuhanmu. Kau tahu!!! Pagi itu aku melihat ayah mencambuk adik kesayanganku dengan ikat pinggang kulit hitam miliknya, diselingi juga hantaman hanger besi ke arah kakinya berkali-kali. Ia menagis sejadi-jadinya dan memohon ampun seperti seorang budak yang meringkuk pedih sambil tertatih. Pada saat itu aku tak tega meninggalkannya, namun kau berbisik kepadaku untuk lari pada saat itu juga. Kau dan aku terkurung dalam kecemasan. Luapan emosi, dendam dan air mata menjadi satu. Aku merasa bersalah karena telah menjadi seorang pengecut yang hanya dapat menangis dan berteriak “ampun ayah…,ampun…berhenti ayah! Jangan pukul adik lagi!” lalu aku menengadahkan kedua tanganku, berharap Tuhan datang dengan keajaibannya dan mencabut nyawa ayah saat itu juga.

Menjelang malam adikku merintih kesakitan, kakinya tak dapat digerakkan dan kulihat banyak memar hitam yang hampir membungkus seluruh bagian kulit tubuhnya. Dia segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Kulihat ayahku dengan kecemasannya, ayah bilang menyesal atas itu semua. Keesokan harinya dokter bilang adikku dengn sangat terpaksa harus menggunakan tongkat untuk menyangga kaki kanannya yang kurang berfungsi, namun kecemasanku sedikit mereda ketika dokter bilang adikku akan sembuh dan dapat berjalan seperti biasanya. Ayah juga menyesal dengan semua perbuatannya selama ini kepada ibu, adik dan tak sedikit juga kepadaku.

Setelah kejadian itu kau selalu dan terus membisikanku untuk keluar dari neraka itu, menjauh dari sang iblis yang sewaktu-waktu dapat menggila. Akhirnya di suatu pagi saat aku dan adikku hendak berangkat ke sekolah dengan bekal tambahan berupa apel merah dari ayah, kami kabur ke rumah ibu. Di sana kami menagis sejadi-jadinya, ibu sangat geram mendengarkan cerita kami. Aku sempat terlintas berpikir kalau ibu tak pernah peduli dengan aku dan adikku. Ibu seorang wanita karir yang sukses dengan usaha besarnya, karena keberhasilannya itu ia meminggirkan nalurinya sebagi seorang pengasuh dan pendidik anak-anaknya. Namun, karena kehadiranmu dan usahamu untuk menenangkanku tak ada alasan aku untuk membencinya. Aku dan adikku kembali hidup normal seperti biasanya, kembali merasakan masa kecil yang sempat muram beberapa bulan ini dengan canda meskipun hanya sementara. Ah…kau tahu bahwa aku sangat takut kehilanganmu sahabatku, bahwa aku sangat membutuhkanmu, bahwa aku sangat menyayangimu. Nur…itulah panggilan kesayanganku untukmu, kau telah hadir dalam hidupku untuk menemani hidup ini yang selalu didera beribu luka dan nestapa. Nur…kau memberikan makna dan menggerakkan diri ini untuk mendekat pada-Nya. Nur…di usiaku yang ke sembilan belas kau telah menjadi perantara hidayah yang diberikan-Nya. Aku menyesal, mengapa baru saat itu aku dekat denganmu dan memahamimu. Di lain sisi aku merasa beruntung, karena Dia masih memberikanku kesempatan untuk merasakan kebahagiaan yang tak terberi sehingga aku dapat kembali membangun puing-puing reuntuhan jiwa ini. Nur… kau benar-benar sahabat sejatiku. Semua rahasiaku kau jaga dengan baik, cukup kita yang tahu dan melewati masa lalu yang pahit ini. “semua yang telah kau lalui tak pantas menghambat masa depanmu” bisikmu. Aku berpikir sejenak, tercenung dan mengingat masa lalu yang hingga saat ini masih harus kujalani. Ayah yang keras kepala dan otoriter, ibu yang masih saja sibuk dengan segala aktivitas usahanya hingga menelantarkan anak-anaknya, saudara laki-laki yang menambah noda nama baik keluarga dengan segala tindakan kriminalnya, juga seorang kakak yang terserang schizophrenia. Semua itu bagiku bukanlah menjadi masalah yang harus terlalu dipikirkan, karena aku masih memilikimu. Toh ! kau merupakan teman baikku, dan kita sepakat untuk selalu membagi kebahagiaan dan kasih sayang untuk orang-orang disekitar kita.

Nur…orang-orang mencarimu. Mereka penasaran ingin mengetahui kau itu siapa, yang bisa menjadi teman baikku yang hampir saja terserang schizophrenia. Mereka mencoba memaksaku untuk memberitahu keberadaanmu. Maafkan aku tak dapat menghindari itu semua, tapi aku yakin mereka tak kan sanggup menemukanmu kapanpun, dimanapun, dan bagaimanapun. Karena kau hanya ada dalam diriku, menetap di jasadku, dan mengendalikanku dalam setiap helaan nafas kehidupan.

Engkaulah NURANIKU!!!

No comments:

Post a Comment

jika mampir dan sempat membaca, silahkan sejenak berkomentar...terima kasih ^_^