Banyak kejadian menarik yang kualami semenjak awal bulan ini. Kejutan-kejutan tak hentinya mengalir. Subhanallah…Maha Suci Engkau Ya ALLAH yang selalu menepati janji-Mu. Agaknya tak salah jika aku benar-benar meyakini firman-Mu, “sesungguhnya pada setiap kesulitan, pasti ada kemudahan”.
Awal bulan ini ayahku datang, meskipun bukan sepenuhnya karena niatan untuk menjengukku disini setelah selang satu tahun yang lalu dari kehadirannya, aku cukup senang dibuatnya. Kali ini ia tak datang sendirian, ia juga memboyong istri dan anaknya. Sedikit kaget juga sih, karena aku berpikir tak sejauh itu, membayangkan ia datang dengan keluarganya secara langsung di hadapanku. Baginya ini sudah yang ke berapa kalinya mengajak istri dan anaknya ke sini, sekedar bersilaturahmi dengan saudara-saudaranya serta menjenguk kakek (almarhumah) dan nenek yang selalu saja manja dengan anak kesayangannya itu. Entah kenapa, selama aku kuliah disini akhirnya ada keberaniannya untuk memboyong keluarganya. Mungkin karena desakan yang beberapa kali dilayangkan nenekku lewat telepon terutama pada istrinya. Lucu juga sih, dari delapan bersaudara hanya aku dan seorang kakak laki-lakiku yang begitu akrab dengan istri dan anak-anaknya. Saudaraku yang lain juga heran, mereka tahu sekali kalau dulu sewaktu awal perceraian kedua orang tuaku hingga tahun pertama kuliah aku sangat membenci ayah. Waktu itu aku menganggap dialah satu-satunya terdakwa utama yang menghancurkan keluarga kami yang telah dibangun sekian lama. Semua kenangan yang terekam dalam ingatanku tentang kebaikannya punah begitu saja, benih-benih kebencianku kepadanya kian bertambah. Semenjak awal perceraiannya dengan ibuku 11 tahun silam, sikapku berubah total terhadapnya dan sepertinya ayahpun berubah tak seperti yang kukenal. Aku malu mengakuinya sebagai ayah karena aku menganggap ia telah menghancurkan segala impianku, saudara-saudaraku, juga ibuku. Namun sekali lagi, kebencianku itu tak beralasan, mengapa? pada waktu itu untuk anak seumurku belum terpikir jauh alasan yang melatarbelakangi keputusannya, aku hanya mengklaim dari satu sisi saja, aku melihat kesalahan ada di pihak ayah dan ibu yang paling benar. Dengan adanya kejadian ini aku menjadi over protective terhadap makhluk yang namanya laki-laki, mereka satu-satunya makhluk yang tak dapat dipercaya, sebaik apapun mereka menurutku itu hanyalah topeng yang mereka kenakan untuk menjerat perempuan-perempuan lemah. Kalau kupikir-pikir jiwa feminis mungkin sudah melekat di diriku pada waktu itu.
Di umur 19 aku baru menyadari apa yang kulakukan terhadapnya tak sepantasnya kulakukan, setelah aku menyambut hidayah-Mu dan mempelajari serta memahami banyak hal. Aku merasa sangat bersalah dengan segala yang telah kulakukan selama ini kepadanya. Aku sudah memahami dan bisa menerima mengapa ayah mengambil keputusan itu. Dendam yang begitu mendalam yang terus terang selama ini menjadi bebanku harus kubuang jauh-jauh. Ayah hanyalah seorang laki-laki yang membutuhkan perempuan yang setia mendampinginya kapanpun dimanapun. Dan itu tak ia dapatkan dari ibuku. Ibuku sebetulnya wanita yang sangat hebat, dengan bangga aku menyebutnya perempuan tersabar dan paling tegar yang pernah kutemui. Ibu seorang pekerja keras, semenjak remaja masa hidupnya ia gunakan untuk bekerja. Posisinya sebagi anak sulung membuatnya harus rela hanya mengenyam pendidikan sampai tingkat SLTP, selebihnya ia harus bekerja membantu kakekku untuk memenuhi hidup tiga orang adiknya. Setiap harinya hanya digunakan untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Bahkan untuk ukuran seorang perempuan, pekerjaan yang ia lakukan lebih pantas dilakukan seorang laki-laki. Sungguh! aku sangat mengagumi semua semangat dan perjuangannya. Entah bagaimana satu waktu ia bertemu ayah. Mereka bertemu di Jakarta, kota yang pada zaman itu belum terlalu padat seperti saat ini. Mereka sama-sama merantau, ayah meninggalkan kuliahnya di Makassar untuk membuka usaha dan ibu memperluas jaringan usahanya. Kedua-duanya merupakan tulang punggung keluarga. Mereka akhirnya bertemu, menikah dan menetap di Jakarta. Aku tak tahu persis bagaimana proses petemuan mereka, yang aku yakini itulah takdir Allah. Kun fa yakun!, dua orang dari dua wilayah yang sangat berjauhan dapat bertemu dan menjalin kasih. Setahuku tidak ada sistem pacaran dalam perjalanan kedekatan mereka. Selama dalam ikatan pernikahan ibuku sepertinya menjadi semakin workaholic, bisnisnya semakin berkembang hingga akhirnya membuahkan satu perusahaan yang lumayan bisa menyerap tenaga kerja. Dari kecil hidupku sangat berlebihan untuk ukuran zaman itu, meskipun begitu ayah tak membiasakan kami untuk hidup bermewah-mewahan, sangat bertolak belakang dengan ibu. Rumah kami dalam kompleks itu yang paling besar dan mewah, sekali lagi untuk ukuran zaman itu. Sayang, ibu semakin sibuk dengan pekerjaannya dan bepergian ke luar daerah hingga berbulan-bulan menjadi kegiatan rutinnya. Aku dan adikku yang ketika itu masih kecil selalu dititip dan dirawat dengan dua orang babysitter-ku yang sudah kuanggap sebagai malaikat dalam hidupku. Menginjak umurku yang ke 10, tak dapat dielakan setelah terjadi beberapa kali pertengkaran akhirnya ibuku meminta cerai dari ayah. Awalnya ayah tak terima dan masih memberi kesempatan ibu untuk menjalankan perannya sebagi istri dan ibu yang baik, yang tidak hanya sibuk dengan semua pekerjaannya. Tapi segalanya tak segampang apa yang diinginkan ayah, situasi rumah mulai tak ubahnya seperti neraka bagi aku dan saudara-saudaraku. Perceraian itu tak dapat dihindari, aku dan adikku yang pada saat itu menjadi korban yang menanggung paling berat akibatnya. Ayah dan ibu saling berebut pengaruh untuk mendapatkan hak asuh. Tanpa keputusan pengadilan yang memberikan hak itu pada ibu pun, aku beserta saudaraku yang lain memilih untuk ikut ibu. Kasihan ayah! dalam hidupnya ia ditinggal orang-orang yang ia sayangi, selang beberapa bulan ayah menikah lagi dengan seorang perempuan Jawa yang hingga detik ini telah mengaruniainya dua orang anak. Hingga detik ini ibu masih menjadi single parent yang harus menghidupi anak-anaknya. Aku bersyukur, ditengah kekacauan ini tak menyurutkan hubunganku dengan ayah. Bahkan selama ini aku yang menjadi satu-satunya anak dari istri pertamanya yang pendidikannya dibiayai hingga saat ini. Sepertinya ayah sangat mengandalkanku dan memperhatikan pendidikanku sebagai anak perempuan yang sangat ia banggakan, bahkan ia janji akan mendukung secara finansial dan moril keputusanku untuk melanjutkan studi ke luar negeri, meskipun sebelumnya kakak-kakakku telah berhasil menempuh pendidikan mereka hingga perguruan tinggi. Pilihan kuliahku kutujukan disini (red.Makassar) atas permintaan ayah. Hal ini kulakukan sebagai rasa penghormatanku kepadanya terlepas dari keyakinanku atas ketentuan Allah yang telah mempertemukanku dengan orang-orang terbaik disini dan menyambutku dengan Ar-Rahman dan Ar-Rahim-Mu.
Tak ayal lagi, memang benar yang dikatakan pepatah bahwa “experience is the best teacher”, pengalaman dalam hidup benar-benar membawaku pada tingkat kesadaran manusia yang tertinggi, seperti halnya Abraham Maslow yang mengungkapkan tentang teori humanisme-nya yang kalau tak salah dia bilang ‘manusia bukan hanya pelaku dalam masyarakat dan pencari identitas, lebih dari itu dia juga sebagai pencari makna dalam hidupnya’.
Salah satu pengalaman hidupku ini kujadikan renungan bahwa aku kelak haruslah menjadi istri dan ibu yang baik. Selain itu, aku juga sedang belajar untuk menulis diatas pasir atas kesalahan orang lain, seperti kisah yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah SAW. Aku harus belajar memaafkan kesalahan orang lain dan melihat masalah tidak hanya dari satu sudut pandang saja. Berusaha untuk memahami orang lain lebih utama daripada harus cepat menilai orang lain. Semoga…
bapak maafkan aku yang telah memendam rindu dan dendam kepadamu.
percayalah! aku berjanji akan menjadi anak perempuanmu yang berusaha
membangun jembatan engkau menuju syurga-Nya bersama ibu.
No comments:
Post a Comment
jika mampir dan sempat membaca, silahkan sejenak berkomentar...terima kasih ^_^